Pakar Pertanian Ini Bilang 90 Persen Kedelai Indonesia Impor

Jakarta, Gempita.co – Makanan favorit masyarakat Indonesia,tempe dan tahu sempat hilang dari pasaran beberapa hari lalu.

Penyebabnya para perajin makanan dengan bahan baku kedelai itu mogok berproduksi gara-gara harga yang tak terkendali.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) juga mengatakan anggotanya melakukan aksi mogok produksi selama tiga hari, mulai 1-3 Januari.

Para perajin ini juga meminta agar pemerintah memperbaiki tata niaga kedelai, agar harganya stabil sehingga nyaman bagi para pelaku usaha.

Mereka juga meminta pemerintah agar merealisasikan program swasembada kedelai yang sudah dicanangkan sejak 2006 untuk mengurangi ketergantungan kedelai impor.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan masalah harga kedelai naik turun ini bukan hal baru dan terus berulang setiap tahun.

Sejauh ini 90 persen kebutuhan kedelai di Indonesia berasal dari impor.

Maka jika ada gejolak harga pada kedelai di pasar global, akan berpengaruh pada industri tahu tempe di dalam negeri.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton dengan nilai sekitar Rp7,52 triliun.

Jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton pada 2017, kemudian 2,58 juta ton pada 2018 dan 2,67 juta ton pada 2019.

Sementara kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri sekitar 8 juta ton.

Sebagai catatan, sebanyak 1,14 juta ton diantaranya berasal dari Amerika Serikat.

Data ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China.

“Kita pernah swasembada kedelai pada awal 1990, namun kemudian kedelai hancur dan dikorbankan saat pemerintah membuka keran impor awal 2000-an,” jelas Andreas kepada Anadolu Agency, Selasa.

Data Gakoptindo, harga kedelai impor di tingkat pengrajin mengalami penyesuaian dari Rp9.000 per kilogram pada November 2020 lalu menjadi Rp9.300-Rp9.500 per kilogram pada Desember.

“Sekarang kedelai sulit untuk diselamatkan dan kita akan terus bergantung pada impor yang semakin tinggi,” lanjut Andreas.

Pemerintah sebenarnya sempat menargetkan swasembada kedelai pada 2019, bahkan dimajukan menjadi 2018, namun tak kunjung menjadi nyata.

“Perlu ada perombakan total terhadap kebijakan sektor pangan kita, karena sulit untuk swasembada saat 90 persen kebutuhan berasal dari impor,” lanjut Andreas.

Sumber: anadolu agency

Kemenkumham Bali

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali