Jakarta, Gempira.co – Dahlia, sempat tertegun sejenak saat mengetahui Desa Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, kampung halamannya, akan dijadikan lokasi pembangunan ibu kota baru menggantikan Jakarta.
Kabar itu dia dengar tahun lalu dalam sebuah perbincangan dalam kelompok adat.
Kampungnya yang kecil, terbelakang dan minim fasilitas akan jadi pusat pemerintahan negara terbesar di Asia Tenggara.
Seperti halnya banyak orang Penajam Paser yang lain, pikiran Dahlia diselimuti banyak pertanyaan tentang nasibnya kelak jika ibu kota negara benar-benar jadi pindah ke kampung mereka.
Dahlia adalah seorang penari generasi terakhir Suku Paser Balik, salah satu suku asli di daerah tersebut, selain Dayak.
Penajam Paser Utara mempunyai penduduk sekitar 160.000 orang, sangat kecil dibandingkan Jakarta, ibu kota saat ini, yang dihuni 10,5 juta orang lebih.
Dahlia bertanya-tanya apakah warga asli seperti dirinya tidak langsung terpinggirkan karena tidak mampu bersaing dengan para pendatang yang akan menjadi penghuni ibu kota baru.
Warga baru ibu kota, kata dia, unggul segalanya; mereka mempunyai pendidikan tinggi dan terbiasa hidup di kota besar yang sibuk.
Sementara warga asli adalah masyarakat yang selama ini tidak pernah mendapatkan pendidikan berkualitas atau kesehatan yang memadai.
“Tidak ada yang akan bisa bersaing, kami tidak punya keterampilan seperti masyarakat di Jakarta,” ujar dia saat ditemui di rumahnya, Desember 2020.
Dahlia juga khawatir mengenai dampak yang ditimbulkan proyek besar-besaran berbiaya lebih dari Rp400 triliun bagi lingkungan hidup.
Dampak lingkungan ini penting sebab penduduk Desa Sepaku sangat bergantung kepada hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dia mencontohkan bagaimana masyarakat kerajinan dari kayu hingga menanam singkong untuk makanan sehari-hari.
“Kami bikin solong penias (sejenis bakul), semuanya dari hutan, dari rotan. Kalau hutan sudah tidak ada, kami mau ke mana?” ucap Dahlia.
Belum lagi, tutur dia, warga Suku Balik, juga masih mencari obat tradisional dari tumbuh-tumbuhan di hutan.
“Kami cari obat di hutan, kami jarang ke rumah sakit atau puskesmas,” jelas dia.
Wiwid Sugiarti, 40, juga merasakan kekhawatiran yang sama
Dia merasa pembangunan ibu kota baru ini hanya akan membuat penduduk lokal tergusur.
Wiwid merupakan generasi ketiga yang tinggal di Desa Sepaku.
Kakek Neneknya berasal dari Jawa Timur, mereka pindah ke daerah ini sejak zaman orde baru, ikut program transmigrasi.
Sebetulnya Wiwid tak sepenuhnya menolak pembangunan ibu kota baru itu, di satu sisi dia senang lingkungannya akan berkembang pesat.
“Kita setuju saja kalau mau bangun ibu kota di sini. Tapi jangan sampai penduduk di sini jadi tersisih,” ujar dia.
Wiwid juga khawatir, saat penduduk tambah banyak tempat tinggalnya jadi tidak aman lagi, kriminalitas jadi naik.
“Ini harus dipikirkan benar. Jangan sampai penduduk lokal tersisihkan dan lingkungan jadi tidak aman,” ujar dia.
Kepala Adat Kelurahan Sepaku, Sibukdin berharap ada komunikasi yang intensif antara pemerintah dan masyarakat adat untuk menyelesaikan kekhawatiran yang muncul akibat rencana proyek ini.
Dia belum bisa memikirkan cara agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru jika proyek itu benar-benar terlaksana kelak.
“Tak ada cara lain untuk beradaptasi selain dengan mempertahankan tanah dan kebudayaan Suku Balik.”
“Kami tidak menghalang-halangi kalau tidak proyek itu mengganggu kehidupan kami,” katanya.
“Mereka tidak paham dengan kami, kami tidak paham dengan kehendak mereka,” tambah dia.
Sumber: Anadolu Agency