Zainal Tayeb Bungkam, Kejari Badung Hadirkan Saksi Kunci

Denpasar, Gempita.co – Dari ruangan Kejaksaan Negeri (Kejari) Badung, Selasa, 12 Oktober 2021,
Zainal Tayeb kembali menjalani sidang secara daring, sebagai terdakwa dalam perkara dugaan menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik.

Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Badung menghadirkan dua saksi, yakni Yuri Pranatomo serta saksi korban, Hedar Giacomo Boy Syam.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

Ditemui usai sidang, Zainal Tayeb enggan berkomentar terkait hasil pemeriksaan dua saksi tersebut di persidangan.

Saat ditanya mengenai kondisinya, pengusaha asal Sulawesi Selatan ini mengaku kurang sehat.

Meskipun dalam kondisi kurang sehat, ia menyatakan tetap menghadapi persoalan hukum yang kini membelitnya.

“Ya dihadapi saja. Tidak mau nanti dibilang macam-macam,” ucapnya didampingi penasihat hukum.

Zainal Tayeb mengatakan, tidak sedang berada dalam kondisi sehat lantaran mengidap beberapa penyakit.

Namun, ia kembali menegaskan tetap mengikuti proses hukum meskipun harus memaksakan diri di tengah kondisi kurang sehat.

“Penyakitnya sudah 17 tahun yang lalu. Gula sama kelosterol. Ya harus dipaksakan,” ujarnya.

Kronologis Kasus

Diberitakan sebelumnya, dalam perkara ini, oleh tim JPU, Zainal Tayeb didakwa dakwaan alternatif.

Dakwaan kesatu, perbuatan terdakwa dinilai melanggar Pasal 266 ayat (1) KUHP. Atau kedua, perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 KUHP.

Seperti diketahui, perkara ini terjadi berawal ketika saksi korban Hedar Giacomo Boy Syam dihubungi oleh terdakwa Zainal, meminta bertemu membicarakan perihal kerjasama pembangunan rumah vila.

Tanggal 25 September 2017, saksi korban menemui terdakwa di rumahnya dan terjadilah percakapan mengenai materi yang akan dituangkan dalam Akta Perjanjian Notaris.

Hadir juga dalam pertemuan itu saksi Yuri Pranatomo selaku orang kepercayaan terdakwa, saksi Luh Citra dan saksi Kadek Swastika selaku pegawai PT. Mirah Bali Konstruksi.

Dalam pertemuan itu terdakwa menyampaikan kepada saksi korban akan menjual tanah dengan luas keseluruhan 13.700 meter persegi dengan harga per meter Rp 4,5 juta.

Itu akan menjadi salah satu klausul dalam Perjanjian Kerjasama Pembangunan dan Penjualan.

Kemudian saksi korban menyetujui dan menyanggupi membayar tanah milik terdakwa.

Saat itu saksi korban percaya kepada terdakwa bahwa total luasan tanah tersebut benar memiliki luas 13.700 meter persegi.

Selanjutnya, terdakwa memerintahkan Yuri membuat draft berdasarkan hasil pertemuan dengan saksi korban.

Draf itu akan diajukan ke notaris untuk dibuatkan akta. Kemudian Yuri membuat draft yang pada pokoknya berisi, bahwa terdakwa selaku pihak pertama dan saksi korban selaku pihak kedua sepakat untuk membuat perjanjian kerjasama pembangunan dan penjualan.

Objek kerjasama adalah delapan SHM yang seluruhnya atas nama terdakwa dengan luas total 13.700 persegi dengan harga dan nilai kerjasama Rp 4,5 juta per meter persegi.

Sehingga total pembayaran yang harus dibayarkan oleh saksi korban kepada terdakwa sebesar Rp 61.650.000.000.

Pembayaran atas harga keseluruhan kerjasama dibayar oleh saksi korban dengan cara mencicil sebelas kali termin pembayaran.

Setelah draft perjanjian selesai dibuat, Yuri kemudian menghubungi Notaris BF Harry Prastawa, meminta dibuatkan Akta.

Lalu Yuri memberikan draft yang sebelumnya sudah dibuat olehnya serta mengirimkannya melalui e-mail kepada staf notaris yang bernama saksi I Made Sukarma.

Atas permintaan Yuri, kemudian notaris tersebut meminta foto copy kedelapan SHM atas nama terdakwa yang dijadikan objek perjanjian.

Namun Yuri menyatakan, kedelapan SHM itu sedang dalam proses pemecahan dan penggabungan di Kantor BPN Badung.

Yuri juga memastikan, total luas tanah delapan SHM atas nama terdakwa tersebut adalah 13.700 meter persegi.

Delapan sertifikat yang dijadikan obyek dalam Perjanjian Kerjasama Pembangunan dan Penjualan adalah SHM Nomor 339/Desa Cemagi, SHM Nomor 849/Desa Cemagi, SHM Nomor 1503/Desa Cemagi, SHM Nomor 1506/Desa Cemagi SMH Nomor 1509/Desa Cemagi, SHM Nomor 1510/Desa Cemagi, SHM Nomor 1601/Desa Cemagi, dan SHM Nomor 1606/Desa Cemagi.
Semuanya atas nama terdakwa.

Atas hal itu, notaris tersebut membuatkan Akta Nomor 33 tanggal 27 September 2017.

Namun di dalam akta tidak dicantumkan luas masing masing delapan SHM yang dijadikan objek perjanjian, sebagaimana tertuang dalam draft yang dibuat oleh Yuri. Hanya dicantumkan luasan total yakni 13.700 meter persegi.

Bahwa sampai dengan Akta Nomor 33 tanggal 27 September 2017 selesai dibuat, baik Yuri maupun terdakwa sendiri selaku pemilik SHM tidak pernah memberikan foto copy SHM yang dijadikan objek perjanjian maupun memberikan keterangan luas masing-masing SHM. Padahal notaris sudah berulang kali memintanya.

Selanjutnya notaris tersebut menghubungi Yuri, menyampaikan Akta Nomor 33 telah selesai dibuat.

Yuri lalu meminta notaris agar datang ke rumah terdakwa untuk dilakukan penandatanganan akta tersebut oleh para pihak.

Atas permintaan itu, notaris mendatangi rumah terdakwa dengan membawa Akta Nomor 33 yang selanjutnya membacakan dan menjelaskan isi satu per satu klausul dalam akta dimaksud kepada terdakwa dan saksi korban selaku para pihak dalam perjanjian.

Saat akta dibacakan dan dijelaskan mengenai objek perjanjian berupa delapan SHM yang seluruhnya atas nama terdakwa memiliki luas total 13.700 M persegi, terdakwa tidak melakukan bantahan ataupun melakukan koreksi. Padahal faktanya total luas tanah hanya 8.892 meter persegi.

Untuk memastikan keabsahan isi Akta itu, terdakwa juga telah membaca dan membubuhkan paraf di setiap lembar halaman akta dan diakhiri dengan menandatanganI.

Sehingga itu menandakan bahwa terdakwa membenarkan dan setuju atas isi akta tersebut yang dibuat oleh terdakwa selaku pihak pertama dan saksi korban selaku pihak kedua.

Sebagai bentuk pemenuhan prestasi Akta Nomor 33 tanggal 27 September 2017, saksi korban telah membayar lunas kedelapan SHM.

Berdasarkan akta tersebut memiliki luas total 13.700 meter persegi dengan total harga Rp. 61.650.000.000 dan telah diterima seluruhnya oleh terdakwa.

Berlanjut, pada bulan Desember 2019, saksi Kadek Swastika dan saksi Luh CW Astuti selaku staf PT. Mirah Bali Konstruksi melakukan penghitungan luas tanah atas foto copy SHM beserta bukti pendukungnya.

Didapati kedelapan SHM yang dijadikan objek perjanjian dalam Akta Nomor 33 tanggal 27 September 2017 hanya memiliki luas total 8.892 meter persegi.

Padahal di akta tercantum kedelapan SHM yang seluruhnya atas nama terdakwa memiliki luas total 13.700 meter persegi.

Akibat perbuatan terdakwa memasukkan keterangan yang tidak benar ke dalam Akta Nomor 33 tanggal 27 September 2017 mengakibatkan saksi korban Hedar mengalami kerugian kurang lebih sekitar Rp. 21.600.000.000. (*)

Kemenkumham Bali

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali