GEMPITA.CO-Tak banyak yang mengetahui Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PP PTMSI) pimpinan Oegroseno mengirimkan empat atlet yang mengikuti babak kualifikasi Olimpiade yang digelar di Qatar National Training Center Doha, Qatar, 13-15 Maret 2021.
Ke-4 atlet tenis meja itu yakni Deepash Anil Bhagwani (tunggal putra), Rafanael Nikola Niman (tunggal putra), Syahrizal Nauval Akbar Mamonto (ganda campuran), dan Siti Aminah (tunggal putri dan ganda campuran).
Olimpian, Barcelona 1992, Ling Ling Agustin saat disinggung masalah pengiriman atlet tersebut mengatakan, sudah bosan bicara tenis meja.
Bahkan, juara tenis meja Asia Pasifik 1991 ini menyebut bisa gila jika membicarakan tigalisme kepengurusan tenis meja yang sudah sembilan tahun tak berakhir.
“Bicara tenis meja? Nggak penting dibahas serius. Ora patheken (Red-enggak urus). Mau kirim ke Olimpiade kek. Itu cuma banyolan tok,” kata Ling Ling Agustin yang dihubungi, Selasa (2/3/2021).
Kalimat banyolan itu wajar diungkapkan Ling Ling Agustin. Pasalnya, organisasi tenis meja terpecah menjadi tiga. Selain PP PTMSI pimpinan Oegrono, ada juga PB PTMSI pimpinan Pieter Layardi dan PP PTMSI pimpinan Lukman Edi. Pecahnya bukan hanya di organisasi pusat tetapi terjadi di berbagai daerah. Trialisme kepengurusan itu tidak terselesaikan hingga saat ini.
“Saya bingung semua merasa memiliki wewenang atas kepengurusan tenis meja. Semua merasa paling benar. Tetapi, perlu diingat kalau merasa memiliki harusnya bersatu demi kemajuan tenis meja Indonesia. Ini sama sekali tak terlihat hingga saat ini. Tenis meja dibiarkan mereka berantakan dan atlet kocar-kacir tak tentu arah,” jelasnya.
Akibat trialisme yang berkepanjangan itu, kata Ling Ling Agustin, tanpa disadari telah terjadi penghilangan satu generasi atlet tenis meja potensial. Bahkan, ulah itu membuat atlet tenis meja kehilangan mata pencariannya. “Ini sudah terjadi pembunuhan prestasi atlet tenis meja. Sudah hilang generasi tenis meja potensial,” tegasnya.
Yang lebih parah lagi, jelas Ling Ling, adanya kebijakan PB PTMSI yang mengkotak-kotakan atlet dan pembatasan usia 25 tahun atlet yang tampil di Pekan Olahraga Nasional (PON). Begitu juga dengan kebijakan PP PTMSI yang memilih atlet memperkuat Tim Tenis Meja Indonesia tanpa melalui seleksi.
“Bingung kan. Ya. itu lah fakta yang terjadi. Semua merasa punya kewenangan tanpa memikirkan tindakannya benar atau salah. Silahkan nilai saja sendiri apa itu punya nurani?. Apa itu benar menunjuk atlet Indonesia tanpa melalui seleksi?” tanya Ling Ling yang mengaku selalu dituding ingin membuat organisasi tenis meja tandingan bilamana mencoba untuk merangkul berbagai pihak untuk menyatukan masyarakat tenis meja.