Gempita.co – Sejak 2017 lalu, Maysaroh asal Indramayu menetap di Ukraina. Ia tinggal bersama suaminya, warga Ukraina dan anaknya yang masih balita di kota Odessa. Tak pernah ia menyangka akan berada di situasi konflik seperti yang terjadi saat ini.
Walau berat, pasca invasi Rusia, Maysaroh memilih untuk tetap bertahan di Ukraina dan tidak ikut rombongan WNI yang dievakuasi ke Indonesia. Sesuai dengan peraturan pemerintah, saat ini pria Ukraina berusia 18-60 tahun, termasuk suami Maysaroh, tidak diizinkan ke luar negeri, karena aturan wajib militer.
“Dilema buat saya. Antara pilih pulang, ketemu keluarga, dan ninggalin di sini, suami dan ibu mertua yang udah sepuh, dilema bangetlah. Ada sih sisi cemburu, ‘aduh kalau saya ikut evakuasi, saya udah di kampung nih, udah ketemu sanak keluarga nih di kampung,’ ujar Maysaroh dikutip VoA.
“Tapi ya udahlah konsekuensinya kita tinggal di sini, ya udah harus terima,” tambahnya.
Situasi mencekam yang kerap terjadi di luar kota Odessa saat ini selalu membuat Maysaroh merasa ngeri. Ditambah lagi dua minggu pertama saat baru terjadi invasi Rusia ke Ukraina, Maysaroh sempat syok dan tak berani keluar rumah. Bunyi dentuman yang mengagetkan dan sirine berkali-kali kerap terdengar.
“(Bunyi) bum bum bum, gitu kan dengar nih. Sampai saya sama anak saya juga lihat-lihatan kalau ada (bunyi) bum gitu. Cuman, setelah dua minggu, kita keluar, di jalanan itu aktivitas udah ramai, udah biasa lagi,” jelasnya.
Maysaroh beruntung karena hingga saat ini persediaan pangan di pasar dan supermarket tetap tersedia. Namun, ia selalu waspada, khususnya saat berada di luar rumah.
“Dampak dari perang ini ya ngeri-ngeri sedap gitu ya, karena kalau kita jalan tuh ada militer gitu yang berseragam dengan bawa senjata gitu kan. Yang biasanya kita nggak pernah temuin, tapi di perang ini, kita udah biasa temuin,” katanya.
Ramadan di Tengah Konflik
Sudah sekitar 11 tahun lamanya Maysaroh tidak merasakan suasana syahdu bulan Ramadan di Indonesia, karena selalu merantau.
“Jarang sekali saya temukan orang muslim di (Ukraina),” cerita Maysaroh.
Berbeda dengan di tanah air, bulan Ramadan memang hampir selalu ia jalani dengan penuh kesendirian, mengingat mayoritas penduduk Ukraina adalah pemeluk agama Kristen, termasuk keluarga suami Maysaroh yang kerap khawatir melihatnya tidak makan dan minum.
“’Aduh, kasihan banget katanya, enggak makan, enggak minum seharian.’ Eh, bukannya kasihan, malah justru yang dikangeni orang muslim saya bilang,” cerita Maysaroh.
Supermarket halal yang tak jauh dari rumah Maysaroh menjual beragam rempah, keju, serta berbagai daging halal, seperti ayam, kambing, sapi, kelinci, bebek, dan kalkun.
Namun, Maysaroh mengaku, makanan di Ukraina kurang pas di lidahnya. Ia lebih sering masak makanan rumahan khas Indonesia, termasuk di bulan Ramadan tahun ini. Terkadang, ia pergi ke supermarket Thailand untuk membeli saus atau bahan pangan yang dapat ia racik sesuai dengan lidah Indonesia.
“Jadi saya berusaha biar enggak terlalu homesick, saya masak apa yang saya bisa ditemukan di sini. Sayur sop, tempe orek, kadang saya kalau bikin tempe kan saya stok tuh tempenya. Jadi kalau kangen bikin tempe goreng, orek tempe, dan suami suka itu,” ceritanya.
Yang juga selalu menjadi favorit di antara keluarga dan teman-teman Maysaroh yang berasal Ukraina adalah bakwan goreng, yang selalu ada di setiap acara.
“Bakwan itu udah paling top, go international. Pertama nyobain tuh mereka udah, ‘wow’ enak banget,’ sampai sekarang favorit di (Ukraina),” katanya.
Sumber: voa