Dewan Pers Ingatkan Jurnalis Perusahaan Pers Jaga Independensi

Dok.dewanpers.or.id

Jakarta, Gempita.co – Dewan Pers mengingatkan kepada para jurnalis dan pengelola perusahaan pers agar senantiasa menjaga independensi pers memasuki tahun politik 2023. Memperkuat kualitas jurnalisme dalam rangka menegakkan kemerdekaan pers.

Pernyataan itu disampaikan Plt Ketua Dewan Pers, Muhamad Agung Dharmajaya, dalam keterangan pers akhir tahun 2022 bertajuk “Menjaga dan Terus Memperjuangkan Kemerdekaan Pers” yang diterima Gempita.co di Jakarta, Sabtu (31/12/2022).

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

Catatan akhir tahun Dewan Pers lainnya menyatakan bahwa tahun 2022 adalah akhir yang pahit bagi insan pers mewarnai perjalanan tahun 2022.

Upaya Dewan Pers dan konstituen untuk mereformulasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak membuahkan hasil memadai.

Ujung dari perjuangan insan pers adalah diberlakukannya KUHP tanpa mengintegrasikan masukan yang disampaikan Dewan Pers.

Ayat-ayat RKUHP yang dianggap bermasalah dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers tidak mengalami perubahan hingga akhirnya disahkan.

Meski DPR dan Pemerintah satu suara mengatakan masukan Dewan Pers dan konstituen telah diakomodasi dalam penjelasan pasal. Dengan kata lain, kritik dan masukan semua komponen insan pers atas ayat-ayat itu seolah hanya lewat saja tanpa terserap. Sudah barang tentu insan pers banyak yang kecewa dengan fakta tersebut.

Dari hasil kajian Dewan Pers, setidaknya terdapat 17 pasal dari 11 kluster RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers.

Gangguan, apalagi ancaman, kemerdekaan pers, merupakan bagian penting atas hak dasar setiap orang dalam berekspresi, hak yang bersifat substantif.

Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, jelas ditegaskan, bahwa salah satu fungsi utama Dewan Pers adalah menjaga kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

Kemerdekaan pers adalah hulu dan pilar demokrasi. Dengan kemerdekaan pers akan lahir pers yang independen, profesional, kompeten, dan jujur.

Amanat UU Pers jelas membuat tidak ada pilihan lain bagi Dewan Pers kecuali terus memperjuangkan kemerdekaan pers bersama konstituen.

Tinta Hitam

Tinta hitam kemerdekaan pers bertambah lagi dengan terungkapnya kasus seorang intel polisi yang menjadi kontributor TVRI di Blora, Jawa Tengah, selama 14 tahun.

Paling tidak ada dua “kesalahan” mendasar jika seorang intel menjadi wartawan, apa pun status jurnalis tersebut.

Pertama, ada campur tangan pihak lain (intel) dalam pelaksanaan kemerdekaan pers. Seorang intel jelas akan mencari info di balik berita untuk kepentingan instansinya.

Kedua, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) jelas menyatakan, bahwa wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Menyalahgunakan profesi bermakna mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas, sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

Belum lagi, intel kepolisian tersebut juga menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan telah lulus menjalani uji kompetensi wartawan (UKW).

Setiap anggota PWI yang ikut uji kompetensi harus menandatangani surat pernyataan yang isinya antara lain wartawan tersebut tidak menjadi bagian dari humas pemerintah, partai politik, PNS/ASN, serta TNI/Polri dan siap dicabut sertifikat kompetensi wartawannya. Dengan demikian, intel tersebut jelas membuat pernyataan bohong.

Adanya pelbagai fakta seperti itu, termasuk kasus kekerasan terhadap wartawan yang juga belum reda, Dewan Pers berkomitmen untuk bersama-sama konstituen memperjuangkan dan menjaga kemerdekaan pers.

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali