Dinilai Lemahkan Kebebasan Pers, SMSI Tolak Pasal Krusial RUU KUHP

SMSI
Foto:Dok.SMSI

Jakarta, Gempita.co – Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) sebagai konstituen Dewan Pers menegaskan tetap menolak pasal-pasal krusial dalam Rancangan Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang berpotensi melemahkan kebebasan pers.

Pernyataan itu dikemukakan Ketua Bidang Hukum, Arbitrase dan Legislasi SMSI Pusat, Makali Kumar, SH, yang hadir mewakili Ketua Umum SMSI Firdaus, dalam pertemuan bersama Dewan Pers dan konstituennya, akademisi, pengamat hukum, serta praktisi hukum di di Jakarta, Kamis (28/7/2022), kembali menyuarakan penolakan terhadap pasal-pasal RUU KUHP.

Bacaan Lainnya

Dalam diskusi Dewan Pers yang berlangsung pukul 09.00-19.00 WIB, juga menghadirkan pejabat penegak hukum, yakni Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA), Dr Andi Nganro SH, MH, Humas Polri, Brigjen Pol Drs Mohamad Hendra Suhartiyono, M.Si, dan utusan dari Kejaksaan Agung.

Makali Kumar dengan tegas menyatakan banyak pasal-pasal RUU KUHP yang harus ditolak dan dihapus, karena berpotensi untuk menghalangi kebebasan pers di Indonesia.

Pasal-pasal RKUHP yang menjadi sorotan SMSI dan juga menjadi bahan diskusi Dewan Pers dalam pertemuan tersebut sekitar 20 pasal, antara lain pasal 188, 218, 219, 220, 240, 241, 246, 248, 263,264 280, 302, 303, 304, 352, 353, 437, 440, 443, dan 447.

“Seperti pasal 263 dan 264 RKUHP yang di dalamnya ada kata penyiaran dan berita. Frasa ini akan berpotensi menghambat kemerdekaan pers. Kita minta untuk dihapus atau dihilangkan dalam RUU KUHP, karena hal itu sudah diatur dalam UU Nomor 40 tahun tentang pers,” katanya.

Bersama perwakilan organisasi konstituen Dewan Pers lainnya, Makali begitu gigih dalam diskusi itu, untuk menyuarakan kemerdekaan pers di Indonesia.

Bahkan Makali juga minta pers dan konstituen Dewan Pers lainnya, serta berbagai kalangan pers untuk tetap solid menyuarakan dan memperjuangkan penolakan pasal-pasal tersebut secara maksimal di DPR RI.

“Jangan sampai, informasi yang menyebutkan pada tanggal 16 Agustus 2022, DPR RI akan bersidang dan menetapkan RKUHP itu, menjadi kenyataan,” katanya.

“Kita jangan kecolongan, kita kawal perjuangan kita, sampai DPR mau mengakomodasi perjuangan kita. Sehingga pasal-pasal yang akan merusak kemerdekaan pers di Indonesia sudah hilang di RUU KUHP,” sambungnya menegaskan.

Sementara itu dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Dewan Pers mengadakan pertemuan dengan Menko Polhukam Mahfud MD, di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis (28/7).

Hadiah Kemerdekaan

Dalam pertemuan itu, Mahfud menjelaskan draf RUU KUHP ini sudah lama dibahas. Rencananya, RUU KUHP ini diberlakukan sebagai hadiah Kemerdekaan Republik Indonesia.

“Masih ada waktu pembahasan. Mungkin jika ada masalah, bukan ditunda tapi dilakukan perbaikan. Kalau jelas ada pasal yang membahayakan, ya dihapus atau direformulasi,” kata Mahfud.

Menurut Mahfud RUU KUHP tersebut dulu sudah akan diketok. Namun lantaran ada demo besar, Presiden pada 2019 minta pengesahannya ditunda.

Saat bertemu Menko Polhukam, Dewan Pers dipimpin Ketuanya, Prof Azyumardi Azra. Ikut mendampingi M. Agung Dharmajaya (Wakil Ketua), anggota Dewan Pers Arif Zulkifli, Ninik Rahayu, Yadi Hendriana, dan A Sapto Anggoro.

Hadir juga perwakilan anggota konstituen Dewan Pers, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Sasmito Madrim, dan Ketua Bidang hukum, Arbitrase dan Legislasi SMSI Pusat, Makali Kumar SH.

Kepada Dewan Pers, Mahfud minta catatan reformulasi terhadap pasal-pasal yang dinilai bermasalah.

“Sampaikan reformulasi secara konkret sekaligus simulasinya. Besok akan saya sampaikan ke Kemenkumham. Wamenkumham akan kita panggil minggu depan,” katanya.

Ia menambahkan KUHP adalah politik hukum penting, pemerintah berharap secepatnya berlaku saat peringatan kemerdekaan nanti karena KUHP yang berlaku saat ini merupakan produk kolonial.

Namun, Dewan Pers bersama masyarakat sipil lainnya melihat ada 14 pasal dan 9 klaster yang potensial melemahkan kebebasan pers. Maka perlu dihapus atau direformulasi.

Menurut Mahfud yang didampingi Deputi Hukum dan HAM Sugeng Purnomo, ada sekitar 700-an pasal dalam RKUHP. “Jika ada usulan 14 pasal, maka jumlah itu tidaklah banyak,” kata Mahfud.

Pihaknya tidak mau menjamin penundaan berlakunya KUHP tersebut. Ia hanya menegaskan, sebelum RUU KUHP maju ke persidangan harus dibahas secara jelas. Menko Polhukam berjanji akan memanggil Kemenkumham untuk membicarakannya dan akan melibatkan Dewan Pers.

Pasal Bermasalah 

Sementara itu, Prof Azra melaporkan pada 2018 Dewan Pers sudah mengajukan usulan delapan klaster pasal yang dinilai bermasalah.

“Namun, masukan dari Dewan Pers dan konstituen tidak dimasukkan sama sekali,” katanya.

Dalam draf sekarang ini, kata dia, malah ada sembilan klaster dari 22 pasal umum yang mengganggu hak berekspresi, 14 di antaranya berkaitan dengan kemerdekaan pers.

Dewan Pers juga sudah ketemu dengan konstituen Dewan Pers dan para pemangku kepentingan. Pertemuan dengan Kemkumham yang dipimpin Wamenkumham Prof Edward (Edi) Omar Sharif Hiariej dan tim perumus sudah dilakukan Dewan Pers pekan lalu.

Rumusan reformulasi RUU KUHP diminta segera oleh Mahfud MD. Karena itu, Dewan Pers bekerja cepat, hari Kamis (28/7) ini juga melakukan penyusunan reformulasi dengan melibatkan Wakil Ketua Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, ahli hukum Bivitri Susanti, mantan Ketua YLBHI Asfinawati, Tim LBH Pers dipimpin Ade Wahyudin, dan lain-lain.

Harus Diperbaiki 

Samsan Nganro berpendapat pasal terkait dengan pers yang mengandung delik harus diperbaiki.

Dewan Pers juga minta supaya pasal-pasal bermasalah didrop atau direformulasi.

Arif Zulkifli menyatakan pemberitaan soal terorisme pun bisa diperkarakan karena harus lengkap.

“Pemberitaan pers pasti yang terdepan dan belum lengkap. Demikian juga soal penghinaan pada presiden hingga lurah/kepala desa, bisa menjadi perkara,” katanya.

Ia khawatir kelak ada self censorship yang tinggi di media, dan ini adalah berbahaya bagi kelangsungan kehidupan pers dan masyarakat.

Sedangkan Ninik menyatakan masih ada waktu untuk mengawal RUU KUHP. Dia berharap, pasal yang tak seharusnya ada bisa dikeluarkan. “Intinya adalah reformulasi,” kata dia.

Adapun Sasmito menyatakan secara prinsip AJI tidak menolak RKUHP itu. Tapi, RKUHP masih perlu masukan dari masyarakat luas dan penyempurnaan sehingga tidak buru-buru diberlakukan.(red)

Pos terkait