Gempita.co – RUU Kesehatan mendapat penolakan dari PB IDI bersama beberapa Organisasi Profesi (OP) menggelar aksi penyampaian pendapat di depan gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Senin (5/6/2023).
Dikutip dari RRI, ribuan massa aksi mengenakan kaos oblong berwarna putih dengan tulisan Stop RUU Kesehatan (OBL).
“Ini aksi terakhir yang kedua dan terakhir. Kita tetap akan tegas (menolak pembahasan RUU Kesehatan, red)” kata Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) untuk RUU Kesehatan, Beni Satria, kepada wartawan, di Jakarta, Senin (5/6/2023).
“Setelah ini kita akan rencanakan untuk aksi bagi seluruh anggota kita, baik dari IDI, PDGI, IAI, IBI, PPNI. Kita akan instruksikan untuk stop pelayanan di seluruh daerah,” ujar Beni.
Menurutnya, hal itu lantaran pemerintah tidak juga menggubris aspirasi terkait pembahasan dalam RUU Kesehatan. Sebelumnya, sejumlah OP pernah menggelar massa aksi pada 8 Mei 2023 lalu.
“Karena tuntutan kita 28 hari lalu di tanggal 8 Mei, kita sudah tegas stop pembahasan RUU Kesehatan. Tapi pemerintah masih tetap kucing-kucingan bersama DPR untuk membahas itu tanpa melibatkan kita sebagai organisasi yang resmi,” ujarnya.
Beni menyayangkan dalam pembahasan RUU tersebut diundang organisasi profesi yang tidak resmi dan bukan organisasi profesi resmi. “Yang nggak resmi (Organisasi Profesi) justru diundang, yang ilegal justru diundang itu yang kami sayangkan,” ucapnya.
“Terutama dari sisi alasan yang ingin kita minta. Kenapa UU di sistem profesi harus dihapuskan dan dicabut,” ucapnya.
Terkait aksi itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi ikut berkomentar. Nadia menilai, aksi cenderung tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik dan pelayanan diberikan kepada pasien.
Nadia melihat, isi dari RUU Kesehatan justru sekitar 85 persen terkait langsung dengan perbaikan pelayan kesehatan. “Sedangkan, sisa 15 persen dijadikan bahan protes dan polemik oleh OP,” ujarnya.
“Seolah-olah RUU ini isinya hanya tentang wewenang OP. Bukan tentang kepentingan masyarakat luas,” ucap Nadia.
“Sebenarnya, 15 persen tadi mengatur soal sumber daya tenaga kesehatan yang di dalamnya ada pengaturan. Antara lain tentang wewenang penerbitan izin praktik, pendidikan dokter spesialis, perlindungan hukum untuk tenaga kesehatan, dan juga eksistensi OP,” katanya.