Jakarta, Gempita.co – Badan Meteorologi Dunia (WMO) mencatat dalam 50 tahun terakhir, jumlah bencana alam yang terkait dengan cuaca di seluruh dunia naik lima kali lipat.
Meski begitu, jumlah orang yang tewas karena badai, banjir, dan kekeringan turun tajam.
Para ilmuwan berkata perubahan iklim, cuaca yang lebih ekstrem, dan pelaporan yang lebih baik menjadi alasan di balik kenaikan peristiwa-peristiwa ekstrem ini.
Namun perbaikan sistem peringatan telah membantu membatasi angka kematian.
Seiring dengan suhu global yang meningkat dalam beberapa dekade terakhir, jumlah bencana yang terkait dengan cuaca dan air yang ekstrem juga meningkat secara signifikan.
Dalam 50 tahun, di antara 1970 dan 2019, ada lebih dari 11.000 bencana terkait cuaca, menurut atlas terbaru dari WMO yang mendata skala seluruh peristiwa ekstrem ini.
Lebih dari dua juta orang meninggal dunia karena bencana alam akibat perubahan iklim, dengan kerugian ekonomi mencapai US$3,64 triliun (Rp51 kuadriliun).
“Jumlah cuaca, iklim dan air ekstrem terus naik dan akan lebih sering terjadi, juga lebih parah, di banyak bagian di dunia karena perubahan iklim,” kata Sekretaris Jenderal WMO Prof Petteri Taalas.
“Ini berarti, akan ada lebih banyak gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran hutan seperti yang telah kita lihat di Eropa dan Amerika Utara. Ada lebih banyak uap air di atmosfer, yang memperburuk curah hujan ekstrim dan banjir bandang. Pemanasan suhu lautan telah mempengaruhi frekuensi dan area terjadinya badai tropis yang intens,” tambahnya.
Lebih dari 90% kematian yang terkait dengan bencana karena cuaca ada di negara-negara berkembang.
Korban tewas terbanyak akibat bencana banjir, yang merenggut nyawa 650.000; sementara korban paling kecil adalah akibat suhu ekstrem yang membunuh nyaris 56.000 orang.
Namun selama periode 50 tahun terakhir, angka kematian total dari bencana alam turun drastis.
“Di balik data yang mencolok ini, ada sebuah harapan,” kata Prof Taalas.
“Sistem peringatan diri untuk bencana alam yang terus membaik telah berperan besar menurunkan angka kematian. Sederhananya, kita telah menjadi lebih baik dalam menyelamatkan nyawa.”
Namun, meski lebih banyak nyawa yang berhasil diselamatkan, dampak ekonomi bertambah buruk.
Kerugian yang dilaporkan selama dekade antara 2010-2019 sekitar US$383 juta (Rp5,4 triliun) per hari, tujuh kali lipat dari US$ 49 juta (Rp697 miliar) per hari pada periode 1970-1979.
Tiga peristiwa ekstrem dengan dampak finansial terbanyak terjadi pada tahun yang sama – 2017. Di tahun tersebut, Badai Harvey, Maria dan Irma menghantam AS. Jika digabungkan, dampak ekonomi dari tiga badai tersebut menyumbang 35% dari total kerugian akumulatif 10 bencana dengan kerugian terbesar yang terjadi antara 1970 dan 2019.
Data di atas menunjukkan, meskipun perbaikan dalam sistem peringatan dini telah membantu menyelamatkan nyawa, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi.
Hanya separuh dari 193 negara di dunia yang merupakan anggota WMO yang memiliki sistem deteksi dini multi-bencana.
Keadaan setelah Badai Irma, di sebagian Karibia dan AS pada 2017.
Juga ada kesenjangan besar dalam jejaring pengobservasi cuaca dan hidrologis di Afrika, beberapa wilayah di Amerika Latin, juga di negara-negara kepulauan di Pasifik dan Karibia.
“Lebih banyak nyawa diselamatkan berkat sistem peringatan dini, tetapi jumlah orang yang terpapar risiko bencana juga meningkat karena pertumbuhan populasi dan meningkatnya intensitas dan frekuensi peristiwa cuaca ekstrem,” ujar Mami Mizutori, perwakilan khusus Sekjen PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana.
“Kerja sama internasional yang lebih baik sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan banyaknya orang yang harus mengungsi setiap tahun karena banjir, badai, dan kekeringan.
“Kita butuh investasi lebih besar dalam manajemen risiko bencana yang komprehensif, dan memastikan bahwa adaptasi perubahan iklim terintegrasi dalam strategi pengurangan risiko bencana lokal dan nasional,” ujar dia.
Sumber: BBC