Tanggapan MUI Soal Haji Metaverse Arab Saudi

Setelah Pemerintah Arab Saudi melakukan sterilisasi di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, akhirnya dibuka kembali untuk jemaah umrah.(Foto: Foto :swarnanews)

Jakarta, Gempita.co – Menanggapi pemerintah Arab Saudi meluncurkan proyek Virtual Black Stone Initiative di Metaverse, Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara.

Pasalnya, banyak yang beranggapan dengan hadirnya program ini, muncul pemahaman bahwa ibadah haji tidak perlu lagi dilakukan secara fisik.

Bacaan Lainnya

Wakil Ketua Umum (Waketum) MUI Anwar Abbas dengan tegas membantah hal tersebut karena pemahaman tersebut menyalahi ketentuan Islam.

Ia menegaskan bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji, jamaah harus hadir secara fisik di tempat-tempat yang ditentukan oleh syara’ yaitu di Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, Ka’bah, Shafa dan Marwa.

Selain itu ibadah haji harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan yakni di bulan dzulhijjah. Hal ini juga sesuai dengan hadist dari Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “Ibadah Haji intinya wukuf di Arafah, barang siapa yg menjumpai wukuf di Arafah, maka ia menjumpai haji.”

“Ini artinya kalau ada orang yang tidak bisa hadir di padang arafah pada waktu yang telah ditentukan oleh syara’ tersebut maka yang bersangkutan secara syar’iyyah tidak bisa diakui telah melaksanakan ibadah haji karena yang bersangkutan tidak bisa hadir ditempat dimaksud pada waktu yang telah ditentukan,” tegas Anwar dalam keterangan tertulisnya Rabu,(9/2/2022).

Belum lagi kata dia, yang menyangkut mabit di muzdalifah, melempar jumroh di mina, thawaf di kabah dan sai antara shafa dan marwa, itu semua harus dilakukan secara fisik di tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh syara’.

“Ketentuan itu semua sudah qath’i atau tidak boleh diubah,” tegasnya.

Dengan mengacu pada ketentuan ini kata Anwar, maka ibadah haji secara virtual melalui Metaverse yang hanya melalui penglihatan saja sudah jelas tidak masuk ke dalam kategori melaksanakan ibadah haji.

Namun jika seseorang menganggap hal tersebut sama dengan melaksanakan ibadah haji, maka hal itu disebut sebagai pemahaman yang sesat.

“Yang begini tidak boleh ditolerir karena yang bersangkutan berarti telah mengacak-acak ajaran Islam yang ketentuannya telah ditentukan sendiri oleh Allah SWT dan rasulnya,” jelasnya.

Meski begitu kata Anwar, Metaverse tentu dapat digunakan jika hanya sebagai sarana untuk memperkuat pengetahuan terkait penyelenggaraan ibadah haji.

“Untuk tujuan seperti ini, tentu boleh saja dan tentu saja baik. Hal demikian jelas akan menimbulkan kebaikan dan manfaat bagi yang bersangkutan, karena dengan begitu setiap orang akan tahu banyak tentang hal-hal yang terkait dengan masalah ibadah haji,” imbuhnya.

Sumber: ATN

Pos terkait