Jakarta, Gempita.co – Banyak yang menganjurkan berjemur di matahari untuk memperkuat daya tahan tubuh atas serangan Covid-19 di antara pukul 10 dan pukul 12, ternyata salah.
Anjuran waktu berjemur itu dipertanyakan oleh Dr. Yuli Setyo Indartono, dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung.
Menurut dosen yang menekuni bidang energi terbarukan, khususnya energi surya ini, waktu tersebut justru waktu yang berbahaya bagi manusia yang hidup di Indonesia.
“Radiasi ultraviolet (UV) dalam sinar matahari terbagi dalam tiga jenis, yaitu UV A, UV B, dan UV C, berdasarkan panjang gelombangnya dan, karena itu, tingkat energinya.”
UV C yang panjang gelombangnya paling pendek memiliki tingkat energi tertinggi, sehingga paling berbahaya. UV A yang tingkat energinya paling rendah pun masih membawa resiko kesehatan bagi manusia.
“Mengutip MMontreal Protocol Scientific Assessment Panel (2019), UV A menyebabkan penuaan kulit secara prematur, sementara UV B membawa resiko kanker kulit dan katarak, serta menekan sistem imun.”
Lapisan ozon (O3) pada atmosfer atas bumi menapis radiasi UV tersebut. UV C terserap semua oleh lapisan ozon tersebut, sebagian besar UV B terserap, sedangkan UV A yang terserap tidak signifikan, katanya.
“Holick (2008) menyatakan bahwa UV B diperlukan dalam proses sintesis vitamin D3 yang dibutuhkan tubuh manusia.”
Dr. Yuli mencatat, selain itu paparan terhadap sinar matahari juga berdampak pada kanker kulit.
“Paparan UV B berlebihan meningkatkan peluang terjadinya kanker non-melanoma. Sebaliknya, ada indikasi bahwa paparan secukupnya (moderat) sinar matahari menurunkan resiko kanker melanoma yang lebih mematikan.”
Berapa lama sebaiknya orang terpapar sinar matahari?
“Secara eksplisit, Holick menyebutkan waktu, musim, posisi lintang, kondisi cuaca, dan derajat pigmentasi kulit sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi jawaban untuk pertanyaan tersebut.”
Holick memberikan contoh untuk seorang ras Kaukasus dengan kulit tipe II yang tinggal di sekitar lintang 42 derajat Utara di pertengahan hari di bulan Juni, yaitu di tengah musim panas, dalam kondisi langit cerah.
Paparan sinar matahari pada kaki dan tangannya selama 5-15 menit di antara pukul 10 pagi sampai pukul 3 sore dengan frekuensi dua atau tiga kali seminggu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan Vitamin D.
Perhatikan bahwa contoh yang diberikan Holick tersebut untuk orang yang tinggal di lintang 42 derajat Utara. Ini adalah posisi kota-kota seperti Roma, Barcelona, Porto, Boston, Chicago, atau Hakodate di pulau Hokkaido, Jepang Utara.
“Rekomendasi itu tidak berlaku untuk orang yang tinggal di Jakarta atau Bandung,” tegasnya. Kenapa?
“Seperti yang dituliskan Holick, posisi lintang merupakan salah satu faktor. Ini terkait dengan intensitas sinar matahari yang jatuh di posisi lintang tersebut. Lapisan ozon yang melindungi bumi dari radiasi ultraviolet tidak merata tebalnya, lapisan ozon paling tipis ada di atas khatulistiwa,” kata Dr. Yuli.
“Intensitas radiasi UV paling tinggi juga ada di daerah khatulistiwa,” tegasnya.
Pada sisi lain, ketika ketinggian matahari rendah, yaitu di pagi dan sore hari, intensitas radiasi yang sampai ke permukaan bumi juga lebih rendah. Penyebabnya adalah sinar matahari harus melewati lintasan di atmosfer yang lebih panjang. Intensitas radiasi paling tinggi tercapai ketika matahari berada di titik puncaknya, yaitu tengah hari.
“Kita dapat menyimpulkan bahwa intensitas radiasi paling tinggi adalah saat tengah hari di khatulistiwa. Tingkat intensitas radiasi UV diukur dengan indeks UV yang dimulai dari 0, 1, 2, dan seterusnya. Semakin besar indeks UV semakin tinggi pula intensitasnya.”
“Wiwiek Setyawati dkk. dari LAPAN melakukan penelitian tentang indeks UV di kota Bandung pada periode Oktober 2007 – Januari 2011. Hasilnya adalah hari-hari dengan indeks UV ekstrem, yaitu indeks 11 ke atas, ada sebanyak 533 dari 1211 hari, yaitu sekitar 44%. Indeks ekstrem ini umumnya tercapai di antara pukul 10 dan 13.”
Bandingkan data tersebut dengan data kota Roma sebagaimana yang dapat kita peroleh pada situs Weather Online. Sepanjang tahun 2019, indeks UV yang ditunjukkan tidak pernah melampaui angka 10.
“Berdasarkan fakta-fakta tersebut, tidak mengherankan kalau WHO mengeluarkan rekomendasi yang keras: batasi waktu terpapar sinar matahari tengah hari.
“The Sun’s UV rays are strongest between 10 a.m. and 2 p.m. Limit exposure to the Sun during these hours,” seperti ditegaskan organisasi dunia tersebut dalam pamflet Sunshine and health: How to enjoy the Sun safely.
“Sebagai kesimpulan, untuk mendapatkan manfaat terbaik sinar matahari tanpa membahayakan kesehatan, berjemurlah ketika sinar matahari sedang lembut-lembutnya. Itu berarti tidak di antara pukul 10 pagi dan pukul 2 siang,” saran Dr. Yuli.
Sumber: Berbagai Sumber