Jakarta, Gempita.co – Masyarakat adat Namasawar di wilayah Taman Wisata Perairan (TWP) Laut Banda belum lama ini menjalankan tradisi Kasih Makan Laut sebagai wujud kegiatan menjaga lingkungan. Tradisi ini merupakan tradisi turun temurun yang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Hendra Yusran Siry, menjelaskan, TWP Laut Banda adalah salah satu Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL).
“Keindahan laut di kawasan TWP Banda tak lepas dari peran serta masyarakat adat yang tetap menjalankan tradisinya untuk menjaga lingkungan. Tradisi Kasih Makan Laut selain digunakan untuk silaturahmi antar warga, juga sebagai pengingat bahwa melestarikan kearifan lokal juga berperan penting dalam perlindungan kawasan serta dapat mendorong ekonomi setempat karena menarik bagi wisatawan,” jelas Hendra, dalam keterangannya.
Hendra menerangkan Tradisi Kasih Makan Laut yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Namasawar di Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Kampung Adat Namasawar terdiri dari tiga negeri administratif yaitu Negeri Nusantara, Rajawali, dan Merdeka. Tradisi Kasih Makan Laut dilakukan dua kali dalam setahun selama pergantian musim sebagai wujud rasa syukur masyarakat terhadap hasil alam yang telah didapat selama ini dan melibatkan beberapa perwakilan masyarakat di tiga negeri tersebut.
Upaya KKP mendampingi masyarakat adat untuk melestarikan tradisi turun temurun yang telah menjadi kearifan lokal, sejalan dengan tekad Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahtu Trenggono, memastikan tradisi dan budaya serta kearifan lokal yang sudah lama melekat di masyarakat Indonesia dan bersifat menjaga alam perlu dilestarikan, dan digelorakan khususnya bagi generasi muda.
Sejarah Terbentuknya Kampung Adat
Mengawali kegiatan Tradisi Kasih Makan Laut, Orlima Besar Kampung Adat Namasawar, Rizal Bahalwan mengawali dengan pembukaan dan penjelasan mengenai sejarah terbentuknya kampung adat, dilanjutkan dengan doa bersama oleh imam besar dan tetua adat. Kemudian berziarah ke lokasi-lokasi yang dikeramatkan oleh masyarakat adat.
“Tradisi ini adalah bentuk syukur masyarakat adat terhadap Tuhan atas rezeki yang dicapai selama ini baik dari laut maupun darat. Lalu ini juga sebagai wujud menjaga lingkungan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh sesama manusia seperti larangan mendirikan bangunan atau melakukan aktivitas yang merusak di wilayah yang dikeramatkan,” ujar Rizal.
Rizal menambahkan sebagai pengingat bagi setiap masyarakat untuk menghormati wilayah adat tersebut, setelah selesai ritual adat dilakukan pemasangan tanda wilayah adat yang dikeramatkan.
Ia juga meminta agar pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dapat bekerja sama menjaga wilayah adatnya serta membantu mengedukasi masyarakat tentang kearifan lokal ini.
Apresiasi Pelestarian Kearifan Lokal
Sementara itu Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Imam Fauzi, sangat mengapresiasi pelestarian kearifan lokal ini. Menurutnya, tradisi ini adalah wujud pelestarian ekosistem wilayah yang sudah ada sejak zaman dahulu dalam bentuk budaya masyarakat sekitar.
“Kami berharap tetap terjalin komunikasi lintas masyarakat dan instansi terkait untuk melestarikan budaya ini sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam menjaga kawasan konservasi. Ini juga menjadi agenda rutin untuk wisatawan sehingga mampu memacu kegiatan wisata budaya atau religi dengan tetap memperhatikan lingkungan konservasi,” harap Imam.
Sumber: Humas Ditjen Pengelolaan Ruang Laut