JPU: Kasus Zainal Tayeb Perkara Tindak Pidana, Bukan Perdata !

Gempita
Gempita.co berita terkini hari ini

JPU: Kasus Zainal Tayeb Perkara Tindak Pidana, Bukan Perdata !

Denpasar, Gempita co – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai perkara terdakwa Zainal Thayeb (65) menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam akta otentik adalah perkara tindak pidana.

Sehingga alasan penasehat hukum Zainal Tayeb (ZT) yang menyatakan perkara ini perkara perdata adalah tidak berdasar dan patut dikesampingkan.

Demikian salah satu point
hasil sidang kedua kasus dugaan tindak pidana menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam akta otentik dengan terdakwa Zainal Thayeb (65), Kamis (23/9/2021), secara daring di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.

Lebih lanjut JPU menyatakan, dakwaan JPU telah memenuhi syarat formil dan materiil surat dakwaan berdasarkan Pasal 143 KUHAP sehingga pernyataan penasehat hukum dimana surat dakwaan tidak jelas dan tidak menguraikan perbuatan tidak berdasar dan patut dikesampingkan.

Maka dengan Alasan tersebut, JPU memohon Majelis Hakim until Menolak eksepsi terdakwa dan menyatakan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara Ini.

Selain itu, surat dakwaan JPU telah memenuhi syarat formil, maka dimohon Majelis Hakim PN Denpasar melanjutkan pemeriksaan ke dalam pokok perkara.

Sidang kedua tesebut selesai pukul 11.00 WITA Dan akan dilanjutka pekan depan, Selasa (28/9/2021), dengan agenda putusan sela.

Seperti telah diberitakan, kasus ini bermula ketika terdakwa menghubungi saksi Hedar Giacomo, di sana terdakwa meminta bertemu untuk membicarakan kerjasama pembangunan rumah villa.

Sehingga pada tanggal 25 September 2017, saksi Hedar menemui terdakwa di rumahnya dan terjadilah percakapan mengenai materi yang akan dituangkan dalam Akta Perjanjian.

Yang mana dalam pertemuan tersebut selain terdakwa dan saksi Hedar, juga dihadiri oleh saksi Yuri Pranatomo selaku orang kepercayaan terdakwa, serta saksi Luh Citra Wirya Astuti dan saksi Kadek Swastika selaku pegawai Zainal

“Di dalam pertemuan tersebut, terdakwa menyampaikan kepada saksi Hedar bahwa ia akan menjual tanah dengan luas keseluruhan 13.700 M² dengan harga permeter Rp 4,5 juta dan akan menjadi salah satu klausul dalam perjanjian kerjasama pembangunan dan penjualan,” kata jaksa dalam sidang, Kamis (16/9).

Tanpa memiliki rasa curiga, saksi Hedar lalu menyetujui dan menyanggupi untuk membayar tanah milik terdakwa dan percaya kepada terdakwa bahwa total luasan tanah tersebut benar memiliki luas 13.700 M².

Selanjutnya, terdakwa memerintahkan saksi Yuri Pranatomo (sudah divonis bebas) untuk membuat draft berdasarkan hasil pertemuan dengan saksi Hedar yang akan diajukan ke Notaris untuk dibuatkan akta.

“Draft yang dibuat berisi bahwa terdakwa selaku pihak pertama dan saksi Hedar selaku pihak kedua sepakat untuk membuat Perjanjian Kerjasama Pembangunan dan Penjualan,” lagi katanya. Bahwa objek kerjasama adalah 8 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang seluruhnya atas nama terdakwa dengan luas total 13.700 M².

Harga dan nilai kerjasama adalah Rp 4,5 juta per meter perseginya sehingga total pembayaran yang harus dibayarkan oleh saksi Hedar kepada terdakwa adalah sebesar Rp 61 miliar 650 juta.

“Pembayaran atas harga keseluruhan kerjasama dibayar oleh saksi Hedar dengan 11 kali termin pembayaran,” ucap jaksa. Namun anehnya, baik terdakwa maupun saksi Yuri selaku orang kepercayaan terdakwa tidak pernah memberikan fotocopy Sertifikat Hak Milik yang dijadikan objek perjanjian maupun memberikan keterangan luas masing-masing ke delapan Sertifikat Hak Milik tersebut.

Singkat cerita, pada bulan Desember 2019, saksi Luh Citra Wirya Astuti dan saksi Kadek Swastika selaku pegawai melakukan penghitungan luas tanah atas fotocopy Sertifikat Hak Milik beserta bukti pendukungnya.

Di sana akhirnya terungkap bahwa kedelapan Sertifikat Hak Milik yang dijadikan objek perjanjian dalam Akta Nomor 33 tanggal 27 September 2017 hanya memiliki luas total 8.892 M², padahal di dalam Akta tercantum kedelapan Sertifikat Hak Milik yang seluruhnya atas nama terdakwa memiliki luas total 13.700 M².

“Bahwa akibat perbuatan terdakwa memasukkan keterangan yang tidak benar ke dalam Akta Nomor 33 tanggal 27 September 2017 mengakibatkan saksi Hedar mengalami kerugian kurang lebih sekitar Rp 21,6 miliar,” kata jaksa.

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali