Gempita.co-Fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kembali dipertanyakan usai kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak kembali ditemukan dan memakan korban jiwa di DKI Jakarta.
Belum lama ini, Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta mengonfirmasi temuan dua kasus pada anak yang teridentifikasi pada akhir Januari dan awal Februari 2023. Kasus itu ditemukan setelah sebelumnya Kemenkes mengklaim tidak ada lagi penambahan korban gagal ginjal akut sejak November 2022.
Dalam kasus baru tersebut, salah satu pasien balita GGAPA meninggal dunia. Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril menyebut korban tersebut sempat mengkonsumsi obat sirop merek Praxion.
Menurut Syahril, pasien yang meninggal juga sempat mengalami gejala batuk, demam, pilek, dan tidak bisa buang air kecil alias anuria. Terbaru, BPOM mengklaim Praxion masih aman untuk dikonsumsi dan tidak mengandung kadar Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
Hal tersebut disampaikan BPOM usai memeriksa sampel Praxion dengan batch yang berdekatan dengan yang dikonsumsi korban serta sampel bahan baku sorbitol yang digunakan dalam proses produksi.
“Dari hasil pengujian terhadap tujuh sampel hasil semua pengujian adalah memenuhi syarat. Artinya, sudah memenuhi sesuai ketentuan atau standar Farmakope yang ada di Indonesia,” ujar Plt Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM Togi Junice, dalam konferensi pers, Rabu (8/2).
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane meminta otoritas terkait benar-benar memastikan penyebab kasus GGAPA yang baru-baru ini ditemukan di DKI Jakarta.
“Apakah benar sirop penurun panas atau kah ada sebab lain yang belum diketahui,” jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/2).
Masdalina lantas mengingatkan agar BPOM dapat benar-benar menjalankan tugas pokok dan fungsi semestinya yakni melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan yang beredar di masyarakat.
Terlebih, kasus gagal ginjal akut pada anak itu kembali ditemukan setelah sebelumnya pemerintah menyebut tidak ada lagi penambahan kasus sejak November tahun lalu.
“Fungsi Badan POM itu yang harus diluruskan, bukan sekedar memberi izin edar saja tapi yang utama melakukan pengawasan sesuai namanya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Masdalina juga meminta agar BPOM turut menyelidiki potensi kandungan EG dan DEG yang mungkin dikonsumsi anak-anak lewat makanan atau minuman lainnya.
Hal itu juga diperlukan lantaran BPOM dalam konferensi persnya mengaku masih belum mengetahui penyebab terjadinya kasus baru tersebut. Sementara, obat sirop Praxion yang disebut sempat dikonsumsi korban dinyatakan aman dari kandungan EG dan DEG.
“Apakah EG dan DEG hanya ada di obat sirup yang mengandung substansi tersebut, apakah tidak mungkin ada pada bahan lain seperti permen, es krim dan makanan manis yang juga disukai anak,” jelasnya.
Karenanya ia mengingatkan agar pemerintah dapat benar-benar mengusut kasus gagal ginjal tersebut secara tuntas. Sebab tanpa adanya upaya yang menyeluruh, ia khawatir kasus serupa akan terus berulang di masa yang akan datang.
“Karena produksi obat sirup tersebut tentu tidak sedikit, mengapa kelompok tertentu saja yang kena? Kenapa yang juga mengkonsumsi tidak terkena? Bahkan ada korban yang tidak minum obat sirop ya terkena GGA juga,” ujarnya.
“Jangan sampai ini hanya menjadi upaya mencari kambing hitam atas kelalaian pemerintah dalam melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap masyarakat,” imbuhnya.
Sementara itu, Epidemilog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai munculnya kasus baru gagal ginjal itu dikarenakan penyelesaian yang dilakukan sebelumnya hanya bersifat supervisi semata.
Menurut Dicky, upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPOM dan Kemenkes masih belum menyeluruh dan tidak menyelesaikan inti permasalahan pengawasan yang ada.
Ia mengatakan kondisi itu juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah yang enggan menetapkan kasus gagal ginjal sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
“Ketika itu tidak ditetapkan sebagai KLB, kita akan terus melihat kemunculan kasus yang sama atau serupa, karena lemahnya atau tidak komprehensifnya penyelesaian yang ada,” jelasnya.
Berkaca pada sistem pendeteksian yang ada di fasilitas kesehatan Indonesia, Dicky mengaku khawatir penemuan kasus baru itu hanya bersifat gunung es semata.
Oleh sebab itu, ia meminta pengusutan kasus baru ini juga harus dikembangkan dari kasus-kasus sebelumnya. Menurutnya pemerintah harus dapat menemukan benang merah kasus gagal ginjal yang telah menewaskan ratusan anak tersebut.
“Ini adalah PR (pekerjaan rumah) besar yang harus dilakukan sekarang. Mumpung masih hangat dan masih ada kasus yang bisa jadi pembelajaran,” tuturnya.
“Karena ini bukan masalah sederhana, tidak akan bisa hanya selesai dengan tim pencari fakta. Ini berbicara proses perbaikan sistem pengawasan,” sambungnya.
Lebih lanjut, ia juga mewanti-wanti agar pemerintah benar-benar mempunyai rencana perbaikan mulai dari regulasi, sistem, hingga organisasi yang berwenang.
“Pemerintah harus punya rencana dan itu yang harus disampaikan. Untuk masyarakat, kawal kasus ini, karena ini bukan selesai dalam satu-dua hari,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi meminta masyarakat tidak membeli obat secara sembarangan.
“Obat harus didapatkan dari tenaga medis yang memang sudah sesuai dengan kompetensinya. Untuk masyarakat jangan membeli obat sembarangan tanpa resep dari dokter,” kata Adib di Gedung Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (7/2).