Katong Samua Bisa, Sinergi Apik Bangun Laut Indonesia

JAKARTA, Gempita.co- Konservasi perairan merupakan salah satu agenda utama dalam pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan.

Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah meningkatkan pengelolaan konservasi perairan di Indonesia, termasuk di wilayah timur Indonesia.

Bacaan Lainnya

Hal ini dilakukan dengan memperkuat peran para pihak, khususnya masyarakat, akademisi, dan mitra kerja pemerintah.

Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) TB Haeru Rahayu pada diskusi virtual “Katong Samua Bisa: Jadi Penggerak Konservasi” pada (28/10) mengungkapkan bahwa KKP telah menjadikan konservasi sebagai salah satu indikator kinerja utama yang masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah 5 tahunan hingga 2024 baik untuk kawasan, habitat dan jenis ikan.

“Kita patut bersyukur dan bangga, hingga detik ini memiliki lebih dari 23 juta hektar kawasan konservasi perairan yang membentang dari ujung Sumatera hingga Papua. Apresiasi khusus kepada pemerintah daerah dan saudara-saudara kita di Papua Barat yang punya luas kawasan konservasi hingga 38 % luas wilayah kelolanya. Ini luasan tertinggi dibanding provinsi lainnya,” ujar Tebe dalam sambutannya.

Disisi lain, menurut Tebe luasnya kawasan konservasi ini memberikan tantangan tersendiri agar kawasan ini dapat dikelola dengan baik dan memberikan manfaat bagi kita semua. Tantangan ini tak dapat ditanggung sendiri oleh salah satu pihak, namun harus disinergikan bersama antar seluruh pemangku kepentingan yang terkait.

Tebe menambahkan sejak dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo selalu menekankan perlunya kerja sama dan kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan. Hal ini dikarenakan wilayah pesisir dan sumber dayanya merupakan bagian utama dari kehidupan sosial, budaya, bahkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.

“Pemerintah dan masyarakat punya keterbatasan, kerja sama dalam bentuk kemitraan jadi cara terbaik dalam mengatasi keterbatasan dan memaksimalkan sumber daya yang ada. Laut adalah masa depan kita, laut adalah sumber segala kehidupan, laut pula yang menjadi tumpuan umat manusia dalam mempertahankan eksistensinya,” imbuh Tebe di Jakarta.

Salah satu upaya pemerintah untuk mendukung tujuan pengelolan konservasi adalah memberikan bantuan kepada Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi (KOMPAK).

“Sejak tahun 2016, kami telah menyalurkan 174 bantuan pemerintah kepada Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Loka Pengelolan Sumber Daya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong Santoso Budi Widiarto mengungkapkan sejumlah tantangan dalam pengelolaan konservasi di perairan Indonesia Timur. Luasnya wilayah perairan yang mencapai 25% luas Indonesia dan keanekaragaman hayati yang sangat kaya perlu dijaga bersama.

“Tahun 2018 dan 2019 sempat ditemukan _coelacanth_, ikan purba yang diyakini telah hidup sejak 150 juta tahun lalu di perairan Indonesia Timur. Ini menjadi bukti bahwa keanekaragaman hayati di perairan ini sangat kaya dan bahkan menjadi sumber keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Saya berharap kita dapat terus menjalin sinergitas dan kerja sama yang selama ini sudah dijalin dalam membangun laut Indonesia Timur dengan segala tantangan yang ada,” ungkap Santoso di Sorong.

Dalam forum yang sama, _Acting Director_ Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia Jason Seuc menyebutkan selama hampir 5 tahun terakhir, Pemerintah AS melalui USAID telah menjalin kerja sama dengan KKP dan 3 pemerintah daerah untuk melaksanakan proyek USAID _Sustainable Ecosystems Advanced_ (SEA) di Provinsi Papua Barat, Maluku Utara, dan Maluku untuk meningkatkan perlindungan dan pemanfaatan sumber daya kelautan Indonesia secara lestari.

Salah satu anggota kelompok masyarakat penggerak konservasi Malaumkarta Robert Kalami, menyatakan bahwa pengelolaan konservasi khususnya di Papua merupakan pengelolaan yang terikat dengan adat sehingga inilah yang memperkuat keberlanjutan pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan di tanah Papua.

“Kelompok kami memang baru sah terbentuk melalui Peraturan Bupati Nomor 7 Tahun 2017, namun konservasi tradisional di Tanah Papua sudah ada sejak Orang Papua lahir dan dijaga hingga anak cucu yang akan datang melalui adat Sasi atau yang dikenal di Malaumkarta sebagai Egek,” ungkap Robert.

Sementara itu, Ma’ruf Aziz, ketua Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi “POSTER” Tidore menyampaikan rasa terima kasihnya terhadap dukungan sarana prasarana yang diberikan dari Ditjen PRL melalui LPSPL Sorong pada tahun 2018 lalu.

“Berkat dukungan sarana prasarana ini, kegiatan kami mulai dari rehabilitasi terumbu karang hingga pelatihan dapat berjalan dengan baik. Bahkan hasil rehabilitasi tahun 2018 sekarang telah dapat dijadikan lokasi pengambilan bibit, tak perlu lagi mengambil bibit dari alam,” ujar Ma’ruf.

Pos terkait