Jakarta, Gempita.co – Masjid Baitussalam di Keagungan, Tamansari, Jakarta Barat, berdiri sejak tahun 1960-an itu praktis sepi dan tanpa pemasukan untuk biaya operasional akibat pandemi Covid-19.
Mengatasi hal itu, salah seorang pengurus masjid mencetuskan ide memberdayakan jemaah yang kehilangan pekerjaan, dalam aktivitas bercocok tanam tanpa tanah – atau hidroponik – dengan memanfaatkan lahan seluas sekitar 200 m2 di atap masjid.
Ini sekaligus menandai dimulainya Masjid Baitussalam Farm (MB Farm).
Sofyan, yang kehilangan pekerjaan di jasa pembuatan paspor, menjadi ketua kelompok petani di kebun hidroponik tersebut.
“Ide awalnya selain mencari kesibukan bagi para pengurus DKM dan jamaah, juga supaya ada sumbangsih ke masjid dan untuk petaninya sendiri,” ujar Dwi Sudaryono, pengurus Masjid Baitussalam.
“Jadi banyak jamaah yang kena PHK, lagi kosong, bisa diberdayakan di atas. Keuntungan ini bisa menyumbang masjid, pengurus atau petaninya bisa mendapatkan hasil daripada tidak ada kegiatan, jadi ada income tambahan,” sebutnya.
Pencetus ide pembuatan kebun hidroponik di atap Masjid Baitussalam adalah Dwi Sudaryono.
Pria yang menjabat sebagai Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Baitussalam ini menuturkan motivasinya mencetuskan gagasan tersebut.
“Sebenarnya ide awalnya memang selain untuk mencari kesibukan bagi para pengurus DKM dan jamaah, ada juga supaya ada sumbangsih ke masjid dan juga untuk petaninya sendiri,” jelas Dwi.
Bercocok tanam dengan hidroponik dipilih karena menurutnya “sangat mudah dan tidak memerlukan lahan yang besar”. Di sisi lain, sayuran yang ditanam lebih cepat dipanen.
“Saya pikir sangat sederhana dan cepat panen, 20-25 hari sudah menghasilkan panen,” kata Dwi.
Saat ini, telah ada enam sistem hidroponik di atap masjid dengan total lebih dari 2.000 lubang yang dapat ditanami sayur caisim, pakcoy, kangkung dan selada.
Belajar dari internet
Awalnya, para petani yang aktif di MB Farm tak memiliki pengetahuan sama sekali tentang hidroponik.
Ilmu tentang bercocok tanam hidroponik, kata Sofyan, didapatnya dari internet sambil langsung mempraktikannya di atap masjid.
“Ya pasti ada kegagalan lah, pas penyemaian itu kita kurang maksimal, pakai nutrisi atau pakai air,” katanya, menceritakan kegagalan yang ia alami pada awal MB Farm berdiri.
Kendati begitu, Sofyan mengatakan bahwa bercocok tanam dengan hidroponik sangat mudah. Akan tetapi, lokasi kebun hidroponik di atap masjid, menurutnya, menciptakan tantangan tersendiri.
“Sebenarnya sih gampang kalau main hidroponik. Mungkin tiap hari kita cek air, nutrisi. Mungkin kalau di atas sini kan terkendala cuaca, ada angin kenceng, hujan,” kata dia, seraya menambahkan bahwa sayuran organik dari kebun hidroponik biasanya bebas pestisida, higienis, dan aman bagi kesehatan.
Lebih lanjut Sofyan menambahkan, bibit sayuran disemai terlebih dulu selama empat hari.
Setelah itu, tanaman dipindahkan ke sistem dan dipanen setelah 20 hari.
Muhammad Faizin, petani hidroponik yang juga menangani segala kegiatan peribadatan dan syiar keagamaan di Masjid Baitussalam, mengatakan bahwa tujuan utama dari MB Farm adalah untuk sosial.
Namun seiring jumlah sistem hidroponik yang kian bertambah, bercocok tanam di atap masjid dipandang memiliki potensi ekonomi.
“Artinya, setelah kita perbanyak sistemnya hasilnya kalau untuk kalangan sendiri sudah terlalu banyak. Jadi awalnya kita bagi ke masyarakat, akhirnya ada pikiran ide bagaimana untuk dipasarkan,” kata Faizin.
Pemasaran terkendala
Para petani kemudian memasarkan sayuran yang mereka panen dengan berbagai cara, mulai dari mulut ke mulut, media sosial, hingga lewat pengumuman masjid.
“Kami siarkan di acara salat Jumat, kita tidak segan-segan tawarkan pada jemaah, dan ini kan masuk unit usaha masjid, bahwa masjid punya dagangan nih, sayuran, caisim, kangkung dan lain sebagainya,” jelas Faizin.
Setiap dua minggu, MB Farm bisa memproduksi sekitar 10-20 paket sayuran organik. Paket-paket ini masing-masing dijual seharga Rp10.000 dengan berat sekitar 400 gram.
Sayangnya, sayuran organik masih sedikit diminati warga lantaran harganya yang lebih mahal ketimbang sayuran yang biasa dijual di pasar.
“Karena memang dari disparitas harga ini sangat jauh. Kalau di pasaran, harga caisim itu dibawah Rp10.000 sekilo, tapi kita jual Rp25.000, disparitas harganya jauh,” aku Faizin.
Faizin yang juga bertugas sebagai ketua tim pemasaran MB Farm, terpaksa harus memutar otak agar produknya bisa dipasarkan di supermarket dan pusat perbelanjaan modern.
“Kalau bisa maksimal, kita bisa masuk ke mall-mall. Apalagi kita nempel dengan [Mall] Grand Paragon. Mereka juga jual produk-produk hidroponik, harganya Masya Allah sampai Rp60.000 per kilo,” kata dia.
Tanaman hidroponik dipilih karena menurutnya “sangat mudah dan tidak memerlukan lahan yang besar”.
“Artinya, pintu masuk sudah ada. Tinggal bagaimana nanti kita untuk bisa mengembangkan dan menjaga mutu dari produk kita ini,” ujar Faizin kemudian.
Untuk menambah penghasilan, para petani berencana menjual jus dari sayuran organik hasil kebun yang dicampur dengan madu dan nanas.
Sumber: BBC