Kemendagri Evaluasi Perda Intoleran, Tito: Ada 72 Perda di Seluruh Indonesia

Mendagri Tito Karnavian
Tito Karnavian/istimewa

Jakarta, Gempita.co – Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum ditugaskan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengevaluasi dan mengkaji peraturan-peraturan daerah yang mungkin bersifat intoleran.

Tito menolak menjelaskan daerah mana saja yang memiliki peraturan daerah yang bersifat intoleran.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

Menurut Tito, sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137 pada 2015, Kementerian Dalam Negeri dapat menganulir atau membatalkan peraturan-peraturan daerah yang dianggap intoleran. Tapi setelah putusan Mahkamah Konstitusi itu terbit, Kementerian Dalam Negeri tidak lagi memiliki kewenangan menganulir.

Namun, lanjut Tito, Kementerian Dalam negeri masih bisa mencegah terbitnya peraturan daerah intoleran saat proses perumusan. Sebab dalam proses ini, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah menjadi fasilitator sehingga dapat memberikan masukan dan koreksi dalam proses penyusunan tersebut.

“Di samping itu, ada mekanisme lain yaitu dapat melakukan gugatan oleh pihak ketiga (masyarakat) atau pihak-pihak yang menganggap ini berbeda pendapatnya tentang perda yang dimaksud, diajukan kepada Mahkamah Agung. Karena memang untuk setingkat perda, yang menguji Mahkamah Agung. Kalau undang-undang, yang mengujinya Mahkamah Konstitusi,” kata Tito.

Sesuai fungsinya sebagai pembina dan pengawas, menurut Tito, Kementerian Dalam Negeri dapat mendorong peraturan daerah intoleran untuk direvisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) yang bersangkutan.

Tito menjelaskan ada sejumlah aturan internal yang mengatur aparatur sipil negara untuk mencegah intoleransi di kalangan pemerintah daerah.

Sementara Peneliti dari Setara Institute Halili Hasan, menjelaskan berdasarkan catatan Setara Institute hingga 2017 terdapat sekitar 72 peraturan daerah intoleran dan merata di seluruh Indonesia.

Halili menekankan peraturan daerah intoleran itu ada di daerah mayoritas baik muslim maupun non-muslim.

“Di mana ada mayoritas, ya di situlah minoritas direpresi, direstriksi, paling tidak dibatasi haknya. Misalnya di Indonesia bagian timur, ada kecenderungan Kristiani itu dominan dan kemudian ada kesulitan-kesulitan yang menimpa teman-teman Muslim di sana,” ujar Halili.

Halili mencontohkan kasus penetapan Timika sebagai Kota Injil, kasus pembakaran masjid di Tolikara, dan instruksi larangan jilbab di Bali.

Di daerah mayoritas muslim di Jawa dan luar Jawa juga ada peraturan-peraturan daerah yang intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Menurut Halili, gejala yang sedang terjadi Indonesia saat ini adalah mayoritarianisme yang mengkhawatirkan kemajemukan.

Mengenai seruan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian agar masyarakat melapor ke Mahkamah Agung jika menemukan peraturan daerah yang intoleran, Halili melihat hal itu bukan langkah progresif. Alasannya, sidang gugatan terhadap peraturan daerah di mahkamah Agung berlangsung tertutup, tidak terbuka seperti uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Menurutnya pemerintah pusat seharusnya mengambil langkah-langkah tegas jika ada pemerintah daerah yang mengeluarkan kebijakan dan peraturan yang bersifat intoleran dan diskriminatif.

Mekanisme yang bisa diambil pemerintah pusat tambahnya adalah harmonisasi peraturan dan dalam bentuk konsultasi. Juga lewat mekanisme anggaran dalam bentuk penghargaan terhadap daerah yang nihil aturan intoleran atau sanksi bagi daerah mempunyai aturan diskriminatif dan intoleran.

Sumber: VoA

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali