Kemenkes Antisipasi Munculnya Penyakit Akibat Polusi Udara

Gempita.co-Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Rabu (30/8), menjelaskan penderita penyakit terbesar yang disebabkan oleh polusi udara yaitu pneumonia dan infeksi saluran pernafasan. Dia mengatakan yang paling berbahaya dari pencemaran udara adalah partikel berukuran 2,5 mikrometer.

Partikel tersebut bersumber dari pembakaran karbon yang berasal dari mesin kendaraan bermotor, industri, dan pembakaran sampah. Dia menambahkan dalam dua tahun terakhir, terjadi tren polusi udara di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) melebihi batas aman yang ditetapkan oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), yakni 15 mikrogram per meter kubik per hari. Dikutip dari VOA Indonesia.

Bacaan Lainnya

Kementerian Kesehatan, lanjutnya, juga akan menyarankan penggunaan masker sebagai upaya pencegahan jika polusi udara terpantau tinggi berdasarkan standar yang yang sudah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kemenentrian Kesehatan telah melakukan edukasi kepada dokter-dokter di puskesmas dan rumah sakit di Jakarta, Bogor, Depok Bekasi dan Tangerang terkai langkah-langkah penanganan penyakit pernafasan. Sehingga tambahnya apabila masyarakat harus dirawat karena penyakit tersebut, masyarakat bisa mendapatkan penanganan dan diagnosis yang sama.

Sejauh ini, kemenkes telah menyiapkan 740 fasilitas kesehatan yang dapat menangani masyarakat apabila terjangkit penyakit ISPA akibat udara yang tidak sehat.

“Promotif, preventifnya sudah makin kenceng kita jalanin. Kita berikan edukasi seperti tadi. Kedua langkah yang kedua kita juga rekomendasi pakai masker apa yang bisa nyaring partikel 2.5 karena ini paling kecil. Pakainya yang KF94 atau KN 95. Juga memonitor kejadian ISPA di Jabodetabek,” jelas Budi.

Untuk menurunkan polusi udara di Jakarta, Budi menyatakan pemerintah akan mencontoh China sebagai negara yang berhasil menurunkan tingkat polusi udara di Ibu Kota Beijing yang hanya dalam tujuh tahun dimulai sejak 2015, dibandingkan dengan negara-negara lain yang membutuhkan waktu 20-25 tahun.

Meski China bukanlah negara populer yang dijadikan sebagai percontohan di dunia kata Budi, tapi hasil studi Kemenkes membuktikan bahwa China adalah negara tercepat dalam pengentasan polusi, yang bertepatan dengan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.

“Gimana cara China nurunin (tingkat polusi duara) sama seperti (penanganan pandemi) COVID-19, pemantauan dia beresin. Dia (China.red) pasang seribu alat monitor (kualitas udara) dengan kualitas sedang, nggak usah mahal-mahal yang penting menjangkau seluruh kota,” kata Budi.

Jika alat pemantau tersebut mendeteksi kualitas udara kotor kata Budi, otoritas setempat langsung menerjunkan petugas mobile reference monitor ke lokasi untuk menganalisa secara mendalam sumber polutan.

Budi menjelaskan secara garis besar China menerapkan lima kebijakan, yakni pengendalian emisi industri, pengendalian emisi kendaraan bermotor, pengendalian debu, pemantauan kualitas udara, serta penurunan risiko dan dampak kesehatan.

Sri Meliyana, anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, mengaku gembira karena masalah pencemaran udara di Jakarta akhirnya dibahas dalam rapat kerja dengan menteri kesehatan. Dia menilai selama ini ada kesan isu polusi udara di Jakarta dihindari untuk dibahas.

Dia meminta fokus pemerintah tidak hanya pada masalah pencemaran udara di Jakarta, tapi juga menaruh perhatian terhadap polusi udara di daeah-daerah lain yang juga memiliki sumber polusi udara berat.

“Sehingga Kemenkes tidak bergerak pada Jakarta saja atau kota besar saja, atau sebagian saja dari Indonesia. Jadikan gerakan ini menjadi gerakan nasional walaupun tidak semua (wilayah) Indonesia itu (daerah) tambang, tidak semua Indonesia itu terpolusi, tapi banyak daerah di Indonesia itu yang terpolusi,” tutur Sri.

Dia mengharapkan Kementerian Kesehatan menggerakkan semua struktur kesehatannya untuk mulai membahas daerah-daerah memiliki sumber polusi udara tinggi.

Berdasarkan laporan Indeks Kualitas Udara Kehidupan (AQLI), polusi udara yang berisi partikel halus (PM 2.5) berpotensi mengurangi usia hidup rata-rata warga Indonesia hingga 1.4 tahun di bandingkan jika kualitas udara di Indonesia memenuhi standar WHO yakni 5ug/m2.

Akibat dampak kesehatan dan kerugian yang ditimbul dari masalah polusi udara, sejumlah kelompok masyarakat sipil berencana akan mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action terkait polusi udara Jakarta ini.

Aliansi tersebut kini sedang mengumpulkan data kerugian ekonomi khsuusnya dari segi biaya perawatan kesehatan yang harus ditembus warga yang terkena penyakit pernafasan akibat menghirup udara tercemar.

Pos terkait