Keuangan Garuda Indonesia ‘Sudah Berdarah-darah’ Sejak Sebelum Pandemi Covid-19 Melanda

Ilustrasi

Jakarta, Gempita.co –
Staf Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan pemerintah berharap agar Garuda Indonesia masih bisa bertahan melalui negosiasi yang sedang berlangsung dengan para kreditur.

Adapun seorang anggota Komisi VI DPR mendesak pemerintah agar tidak putus asa menyelamatkan Garuda Indonesia agar tetap bisa terbang.

Pengamat penerbangan, Ziva Narendra Arifin, mengatakan kondisi keuangan Garuda Indonesia ‘sudah berdarah-darah’ atau terus merugi sejak sebelum pandemi Covid-19 melanda.

Kondisi itu, katanya, paling besar dipengaruhi oleh faktor internal. Yakni ongkos yang dikeluarkan untuk banyak komponen seperti sewa pesawat, perbaikan hingga transportasi kru pesawat, terlampau besar.

“Misal leasing pesawat, itu biayanya besar. Lebih besar daripada maskapai yang mengoperasikan jenis pesawat yang sama. Jadi artinya dari sisi strategi pengelolaan keuangannya kurang praktis dan banyak pengeluaran yang sifatnya kecil tapi banyak. Seperti transportasi kru, sewa jasa pihak ketiga, itu besar sekali biayanya,” ujar Ziva Narendra kepada Quin Pasaribu dikutip dari BBC News Indonesia, Minggu (24/10).

“Jadi titik biaya-biaya kecil banyak dan terus menggunung setelah puluhan tahun,” sambungnya.

Sedangkan faktor eksternal atau pandemi Covid-19, katanya, hanya menambah beban maskapai penerbangan nasional ini sebesar 15% – 20%.

Catatannya, terakhir kali Garuda Indonesia membukukan keuntungan pada 2015 dan 2017, tapi itupun ‘tipis sekali’.

Sementara pemerintah, sambungnya, telah mengisyaratkan untuk tidak membantu dalam bentuk penyertaan modal negara. Selain karena anggaran negara yang sedang fokus pada pemulihan ekonomi akibat pandemi.

Pun, kalau pemerintah terdesak untuk menggelontorkan bantuan uang, tidak akan sanggup untuk menyelamatkan Garuda dari timbunan utang.

“Kalau diberikan Rp7 triliun dari beban utang, itu enggak signifikan. Uang itu akan habis buat bayar utang ke Pertamina atau pihak ketiga lain. Tujuh triliun itu hanya akan jadi uang hangus. Bukan menyelamatkan,” tegasnya.

“Paling enggak 30 persen kalau mau menggelontorkan. Kalau tidak, akan sulit.”

Ia juga memprediksi Garuda Indonesia akan membutuhkan waktu 20 tahun untuk kembali ke kondisi normal.
Itu mengapa dia menilai, opsi terakhir untuk menutup Garuda Indonesia “tidak bisa dicegah”.

“Ini bukan the end of the world, kita harus menerima realitanya,” kata Ziva Narendra.

Dia juga mengatakan, jika Indonesia tidak lagi memiliki maskapai penerbangan nasional atau flag carrier, bukan menjadi indikasi lemahnya industri penerbangan di Indonesia.

Sebab beberapa negara seperti Amerika Serikat juga tidak memiliki maskapai penerbangan nasional.

Di dalam negeri, hilangnya Garuda Indonesia juga tidak akan berpengaruh besar.

“Efeknya lebih ke aspek psikologis industrinya, karena ini maskapai paling tua dan matang. Kok begini?”

Justru, baginya, peristiwa tersebut semestinya menjadi momentum untuk berbenah. Mulai dari isu duopoli dalam industri penerbangan domestik, infrastruktur, navigasi, birokrasi, termasuk investasi.

Hingga saat ini, katanya, investasi industri penerbangan di Indonesia termasuk ‘high risk investment’ dan dianggap tidak menarik oleh investor asing.

Sumber: BBCNews

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali