JAKARTA, Gempita.co- Pengembangan kegiatan budidaya perikanan menjadi salah satu prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) guna meningkatkan perekonomian masyakat. Untuk itu, selain menggalakkan berbagai inovasi program budidaya ikan, KKP melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) juga aktif menggelar berbagai pelatihan hingga percontohan penyuluhan untuk menyokong sektor budidaya ini. Teranyar, KKP menggelar pelatihan pembesaran ikan air tawar dan pelatihan pembesaran ikan lele dengan sistem bioflok.
Pelatihan dengan sistem bioflok ikan lele diselenggarakan melalui Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Bitung pada 4-5 November 2020 bagi masyarakat Kabupaten Bantaeng. Sementara pelatihan pembesaran ikan air tawar digelar oleh BPPP Tegal bagi 100 pembudidaya ikan Kabupaten Purwakarta pada 5-6 November 2020. Kedua pelatihan ini merupakan pelatihan aspirasi kolaborasi KKP dengan Komisi IV DPR RI.
Kepala BRSDM Sjarief Widjaja mengatakan, pada kondisi sulit di tengah pandemi Covid-19 ini, sub sektor perikanan adalah salah satu yang masih dapat berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, di saat sektor lain seperti transportasi dan pariwisata mengalami pukulan berat. Hal ini terjadi karena meski di tengah pandemi, 268 juta jiwa rakyat Indonesia tetap membutuhkan asupan protein.
“Konsumsi ikan nasional kita 54,49 kg per orang per tahun, sehingga total kebutuhan konsumsi ikan Indonesia sekitar 14 juta ton per tahun. Itu didapat dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya,” beber Sjarief.
Sjarief melanjutkan, saat ini pemerintah juga tengah memacu pertumbuhan produktivitas perikanan budidaya, misalnya melalui penerapan teknologi baru sistem bioflok maupun _recirculating aquaculture system_ (RAS). Sistem ini dipercaya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas pengembangan budidaya skala rumah tangga karena dapat dilakukan di lahan yang sempit, seperti di perkarangan belakang rumah dengan tetap menjamin pemenuhan kebutuhan oksigen dan udara.
Secara umum, pada budidaya ikan secara intensif, semakin tinggi padat tebar, semakin banyak pula kebutuhan pakan, semakin banyak kebutuhan air, dan semakin banyak limbah yang dibuang. Untuk menekan kebutuhan air dan pakan serta meminimalkan buangan limbah ini, diperlukan teknologi budidaya yang sesuai. Teknologi sistem bioflok dinilai sebagai jawabannya. Selain minim limbah, sistem ini juga sekaligus dapat mendaur ulang limbah menjadi pakan budidaya. Budidaya sistem ini juga tidak menghasilkan bau yang tidak sedap sehingga dapat diterapkan di mana saja.
Menurut Sjarief, teknologi ini memang bukan teknologi yang sangat baru, akan tetapi juga belum umum diterapkan masyarakat. Kebanyakan masyarakat menggunakan sistem bioflok pada budidaya ikan lele. Untuk itu, pihaknya juga merekomendasikan sistem ini untuk kegiatan budidaya jenis ikan lainnya.
Selain persoalan teknologi, masalah yang tak kalah penting dalam kegiatan budidaya adalah tingginya kebutuhan dan harga pakan. Sjarief menyebut, kebutuhan pakan ini menelan lebih dari 60% biaya produksi. Komponen pakan yang paling mahal harganya adalah tepung ikan yang digunakan sebagai sumber protein hewani dalam formulasi pakan buatan. Sementara itu, hanya sekitar 25 – 30% dari kandungan protein pakan yang diubah menjadi daging untuk pertumbuhan. Sisanya terbuang dalam bentuk feses, urine, dan ammonia yang pada tingkatan tertentu dapat meracuni ikan.
Dengan teknologi bioflok, senyawa nitrogen anorganik (terutama yang bersifat racun pada ikan) didaur ulang menjadi protein sel mikroba sehingga bisa dimakan hewan pemakan detritus seperti nila, udang vaname, dan ikan lele. Hal ini karena sistem bioflok pada prinsipnya mengembangkan komunitas bakteri yang menguntungkan di dalam kolam. Budidaya sistem bioflok ini juga terbukti lebih stabil daripada sistem yang didominasi _algae_ (plankton) karena tidak tergantung sinar matahari.
Kualitas air lebih stabil dan penggunaan air lebih sedikit karena hanya dibutuhkan sedikit penambahan akibat adanya penguapan dan pembuangan lumpur. Mikroba penyebab penyakit pun dapat ditekan.
Selain pakan _floc_ (gumpalan) yang dihasilkan dalam proses budidaya sistem bioflok, Sjarief juga mendorong masyarakat mengembangkan budidaya cacing sutra maupun magot sebagai pakan ikan alternatif. Menurutnya, kedua pakan alternatif ini sangat potensial dan mudah untuk dikembangkan.
Dengan berbagai potensi dan alternatif yang tersedia, ia berharap, minat masyarakat untuk menekuni usaha budidaya semakin meningkat.
Menurut Sjarief, peningkatan minat masyarakat berbudidaya ikan ini juga telah terlihat dari peningkatan jumlah peserta pelatihan yang digelar KKP. Di tahun 2020, KKP menargetkan pelatihan bagi 25.200 orang. Hingga Oktober 2020 ini, KKP telah melatih 46.200 orang.
“Peningkatan ini selain dampak dari adaptasi pelatihan dengan teknologi digital, juga menunjukkan peningkatan signifikan minat masyarakat untuk berbudidaya ikan,” tandasnya.
Terkait pengembangan budidaya perikanan ini, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedy Mulyadi menyebut, memang sudah seharusnya masyarakat dapat memanfaatkan apa yang tersedia di alam. Termasuk sungai, danau, embung, hingga balong untuk kegiatan budidaya ikan. Selain sebagai mata pencaharian, kegiatan budidaya ini juga dinilai dapat menjadi sumber pangan keluarga bergizi tinggi hingga hiburan pelepas penat.
Melakukan kegiatan budidaya yang tertib dan berkelanjutan juga dinilai dapat mengurangi kegiatan penangkapan ikan dengan cara destruktif yang dapat merusak lingkungan. Caranya adalah dengan mengusung prinsip bekerja pada alam dan mengabdi pada alam. Menurut Dedy, jika prinsip ini telah dipegang teguh, alam akan terhindar dari kerusakan.
Dedy menilai, kegiatan budidaya yang dilakukan masyarakat juga perlu didukung dengan berbagai kegiatan pelatihan sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan terkini. Untuk itu, ia meminta masyarakat menggunakan gadgetnya untuk mencari sebanyak-banyaknya informasi yang dapat menunjang usahanya.
Selain itu, ia menilai masyarakat juga harus memiliki kemandirian untuk dapat memajukan usahanya. Salah satunya adalah kemandirian atas pakan ikan. Tak kalah penting, ia juga mengingatkan masyarakat pembudidaya untuk tidak ikut-ikutan tren bisnis.
“Kelemahan bisnis di Indonesia itu adalah ikut-ikutan. Kalau harga lagi tinggi, semua berbondong-bondong ikutan berbisnis yang sama. Padahal kita harus lihat berapa kebutuhan pasar, berapa yang sudah tersedia, kemudian bikin perencanaannya,” tandas Dedy.
Pada kesempatan berbeda, Anggota Komisi IV DPR RI, Azikin Solthan menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan pelatihan oleh KKP. Menurutnya, pelatihan ini sangat sesuai dengan fokus KKP dalam lima tahun ke depan, yaitu transformasi perikanan budidaya yang semula berorientasi pada peningkatan produksi menjadi optimalisasi pemanfaatan potensi perikanan daerah.
“Atas nama saya pribadi sebagai anggota DPR dengan masyarakat menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Menteri beserta jajarannya yang telah memberikan dukungan secara optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di sektor perikanan,” tuturnya.
Menurut Azikin, dalam upaya peningkatan budidaya perikanan di Kabupaten Bantaeng, pemerintah telah menyerahkan paket bantuan bagi pesantren dan koperasi yang saat ini sedang dalam proses pembangunan fisik. Selain itu, pihaknya juga tengah mengajukan permohonan bantuan budidaya perikanan lain seperti budidaya ikan dan udang, budidaya ikan dalam ember, serta budidaya ikan hias kepada KKP.
Oleh karena itu, ia berharap masyarakat mengikuti seluruh rangkaian pelatihan dengan cermat dan menangkap seluruh peluang yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan.
Kepala Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (Puslatluh KP), Lilly Aprilya Pregiwati menerangkan, pelatihan budidaya ikan yang diberikan mencakup penyiapan kolam pembesaran, pengelolaan air media pembesaran, penanganan benih ikan, pemeliharaan ikan, hingga proses panen.
Pelatihan ini diharapkan menjadi bekal peningkatan keterampilan para pelaku usaha melalui bimbingan dari para pelatih dan pendampingan penyuluh perikanan di lapangan.
“Ending dari kegiatan pembesaran adalah produksi. Para pelatih agar mengajarkan bagaimana pembesaran yang tepat, tidak berlebihan dan juga tidak kurang karena ikan lele yang biasa dikonsumsi itu yang bagusnya sekilo isi 8 ekor atau sebagainya. Terlalu besar sudah tidak enak dimakan, terlalu kecil juga tidak ada dagingnya,” pesan Lilly.