Kondisi Ekonomi China Ternyata Sedang Tidak Baik-baik Saja

Gempita.co – Berita Trading Economics, Rabu (5/10/2022), menyebutkan pertumbuhan ekonomi China melambat atau hanya tumbuh sebesar 0,4 persen (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2022. Angka tersebut jauh dibandingkan kuartal I/2022 yang tercatat sebesar 4,8 persen.

Dengan kondisi tersebut, target Beijing untuk mencapai pertumbuhan tahunan di 5,5 persen, semakin sulit untuk dicapai. Bahkan, sejumlah ekonom tidak mengharapkan pertumbuhan apapun pada tahun ini.

Bacaan Lainnya

Meski tidak sedang berjuang menghadapi inflasi yang melonjak tinggi seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris, namun China memiliki masalah lain yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Salah satunya, yaitu perang dagang antara China dan AS.

Mata uang Yuan juga berada pada tahun terburuk dalam beberapa dekade lantaran anjlok terhadap dolar AS. Mata uang yang melemah membuat khawatir para investor sehingga memicu ketidakpastian di sektor keuangan. Hal ini kemudian mempersulit bank sentral dalam memompa uang ke dalam perekonomian.

Berikut lima alasan ekonomi China sedang tidak baik-baik saja dikutip dari BBC, Rabu (5/10/2022).

1. Kebijakan Zero Covid mendatangkan malapetaka

Merebaknya wabah Covid di sejumlah kota, termasuk pusat manufaktur seperti Shenzhen dan Tianjin, telah mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai sektor industri. Orang-orang juga tidak menghabiskan uang untuk hal-hal seperti makanan dan minuman, ritel atau pariwisata, menempatkan layanan utama di bawah tekanan.

Menurut Biro Statistik Nasional (NBS) China, di sisi manufaktur, aktivitas pabrik tampaknya telah kembali pada September lalu. Rebound bisa jadi karena pemerintah lebih banyak belanja infrastruktur.

Namun, itu terjadi setelah dua bulan di mana manufaktur tidak berkembang dan itu telah menimbulkan pertanyaan, terutama sejak survei swasta menunjukkan bahwa aktivitas pabrik sebenarnya turun pada September, dengan permintaan memukul output, permintaan baru dan lapangan kerja. Permintaan di negara-negara seperti AS juga telah menurun karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi, inflasi, dan perang di Ukraina.

Kepala Ekonom Asia di S&P Global Ratings Louis Kuijs menilai Beijing dapat melakukan lebih banyak untuk merangsang ekonomi. Namun, hanya ada sedikit alasan untuk melakukannya sampai nol Covid berakhir.

“Tidak ada gunanya memompa uang ke dalam ekonomi kita jika bisnis tidak dapat berkembang atau orang tidak dapat membelanjakan uangnya,” ujarnya.

2. Respon Pemerintah Beijing terhadap pelemahan ekonomi

Beijing pada Agustus lalu mengumumkan rencana 1 triliun yuan untuk meningkatkan usaha kecil, infrastruktur, dan real estat. Kendati demikian, para pejabat negara justru dinilai kurang agresif dalam menanggapi melemahnya pertumbuhan.

Menurut Kujis, pemerintah dapat melakukan lebih banyak guna memicu pengeluaran untuk memenuhi target pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja termasuk lebih banyak berinvestasi di infrastruktur, meringankan persyaratan pinjaman untuk pembeli rumah, pengembang properti dan pemerintah daerah, dan keringanan pajak untuk rumah tangga.

“Respon pemerintah terhadap pelemahan ekonomi cukup sederhana dibandingkan dengan apa yang telah kita lihat selama serangan pelemahan ekonomi sebelumnya,” ujarnya.

3. Pasar properti China sedang dalam krisis

Melambatnya pertumbuhan ekonomi China salah satunya dipicu oleh melemahnya aktivitas real estate dan sentimen negatif di sektor perumahan. Ini telah memukul keras ekonomi China lantaran properti dan industri lain yang berkontribusi terhadapnya menyumbang hingga sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.

Kujis menyampaikan, ketika kepercayaan di pasar perumahan lemah, maka orang merasa tidak yakin dengan situasi ekonomi secara keseluruhan. Terlepas dari upaya Beijing untuk menopang pasar real estate, harga rumah di puluhan kota telah menurun lebih dari 20 persen pada tahun ini.

Dengan pengembang properti di bawah tekanan, analis mengatakan pihak berwenang mungkin harus berbuat lebih banyak untuk memulihkan kepercayaan di pasar properti.

4. Perubahan Iklim Perubahan cuaca yang ekstrem mulai berdampak pada industri China

Pada Agustus lalu, gelombang panas yang parah diikuti oleh kekeringan, menerjang provinsi barat daya Sichuan dan kota Chongqing. Saat permintaan AC melonjak, itu membanjiri jaringan listrik di wilayah yang hampir seluruhnya bergantung pada tenaga air. Pabrik-pabrik, termasuk produsen besar seperti pembuat iPhone Foxconn dan Tesla, terpaksa memangkas jam kerja atau tutup sama sekali.

NBS China mengatakan, pada Agustus 2022, keuntungan di industri besi dan baja saja turun lebih dari 80 persen dalam tujuh bulan pertama 2022, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Pemerintah setempat pada akhirnya datang dengan puluhan miliar dolar untuk mendukung perusahaan energi dan petani.

5. Raksasa teknologi China kehilangan investor

Tindakan keras regulasi terhadap raksasa teknologi China yang telah berlangsung selama dua tahun tampaknya tidak membantu. Tencent dan Alibaba melaporkan penurunan pendapatan pertama mereka di kuartal terakhir.
Laba Tencent turun 50 persen, sementara laba bersih Alibaba turun setengahnya. Puluhan ribu tenaga kerja muda kehilangan pekerjaan, menambah krisis pekerjaan di mana satu “dari lima orang berusia 16 hingga 24 tahun menganggur.

Hal ini tentunya dapat merugikan produktivitas dan pertumbuhan China dalam jangka panjang. Para investor juga merasakan pergeseran di Beijing. Softbank Jepang menarik sejumlah besar uang tunai dari Alibaba, sementara Berkshire Hathaway dari Warren Buffet menjual sahamnya di pembuat kendaraan listrik BYD.

Tencent juga telah menarik investasi senilai lebih dari US$7 miliar pada paruh kedua tahun ini saja. AS juga diketahui menindak perusahaan China yang terdaftar di pasar saham Wall Street.

S&P Global Ratings dalam catatan baru-baru ini mengatakan, beberapa keputusan investasi sedang ditunda dan beberapa perusahaan asing berusaha untuk memperluas produksi di negara lain.

Sumber: asiatoday

Pos terkait