Jakarta, Gempita.co – Lima provinsi menyatakan menolak opsi lockdown sebagai solusi menekan lonjakan penyebaran covid-19 di daerahnya. Teranyar adalah Jawa Timur dan Sumatera Utara yang tegas menolak.
Sikap dua provinsi tersebut melengkapi penolakan lockdown yang sebelumnya juga ditegaskan tiga provinsi: DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menegaskan, lockdown tidak pernah menjadi salah satu alternatif upaya pengendalian Covid-19. Khofifah menegaskan pihaknya sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dengan menerapkan.
“Enggak ada (opsi lockdown),” kata Khofifah di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (22/6). Khofifah menjelaskan, opsi lockdown di Jatim berbasis mikro. Hal itu telah diterapkan di sejumlah permukiman warga di Kota Pasuruan dan Malang.
Gubernur Sumut Edy Rahmayadi meminta agar masyarakat di wilayahnya tidak ikut-ikutan latah mendesak lockdown menyusul lonjakan kasus di sejumlah wilayah. Ia juga menegaskan sedari awal pihaknya tidak pernah membahas mengenai opsi lockdown.
“Saya dari awal tak membahas lockdown. Tak bisa seperti itu. Jangan latah. Jangan karena orang lockdown, maka Sumut juga harus lockdown,” ucap Edy.
Eks Pangkostrad itu menyebut, lockdown di Sumut akan berimbas pada permasalahan ekonomi. Hal ini juga berpotensi untuk menjadi masalah sosial. Menurut dia, kebijakan lockdown membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, wilayah Sumut memiliki banyak jalan tikus, sehingga lockdown tidak akan efektif.
“Persoalan lockdown inikan biayanya tinggi. Terus siapa yang bisa ngawasi. Sumatera Utara itu banyak pintu tikus. Contoh Tebingtinggi ke Medan, di lockdown di situ lewat gunung dia bisa. Ada jalannya semua,” ujar dia. Edy juga mengklaim bahwa kasus Covid-19 di Sumut relatif terkendali. Bahkan, tingkat keterisian tempat tidur di Sumut hanya 35 persen.
Sebelum Khofifah dan Edy, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X juga berfikir ulang untuk menerapkan lockdown. Menurut Sultan, lockdown merupakan opsi terakhir dalam menangani lonjakan Covid. “Itu (lockdown) pilihan terakhir. Saya (Pemda DIY) enggak kuat ngragati (membiayai) rakyat se-DIY,” ujar Sultan.
Sultan mengatakan, Pemda DIY bersama pemerintah kabupaten/kota lain akan kembali mengandalkan PPKM skala mikro yang diperketat, sesuai instruksi pemerintah pusat. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengaku tak sependapat dengan usulan lockdown. Pasalnya, sejak awal telah disepakati tidak ada lagi istilah lockdown.
“Dan sebenarnya tidak ada istilah lockdown. Saya juga bingung dihidupkan lagi istilah lockdown karena dulu sudah disepakati lockdown itu bahasa Indonesia-nya PSBB (pembatasan sosial berskala besar),” ujar Emil. “Jadi istilah PSBB ini harus dibarengi dengan kesiapan pangan, sembako kepada mereka yang tidak bisa WFH,” tambahnya.
Usulan lockdown juga mendapat penolakan di Jakarta. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Zita Anjani mengatakan lockdown atau PSBB ketat bukan pilihan bijak dalam kondisi saat ini.
Belajar dari pengalaman setahun terakhir, Pemerintah Provinsi DKI telah banyak mengalokasikan anggaran selama beberapa kali menerapkan PSBB. Ia khawatir, PSBB ketat justru akan kembali menguras pendapatan, sehingga Pemprov tak dapat membiayai kesehatan.
“Kita satu tahun lebih kemarin DKI sudah banyak yang kita korbankan dari segi ekonomi. Kenapa? Karena satu-satunya pendapatan DKI itu dari pajak. Jadi kalau ini direm lagi, kita enggak punya uang untuk mendanai kesehatan kita,” kata Zita beberapa waktu lalu.
Sumber: CNN Indonesia.