Gempita.co-Mantan Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahdyudin divonis dengan pidana 3 tahun 6 bulan atau 3,5 tahun penjara atas kasus penggelapan dana ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610.
“Menyatakan terdakwa Drs Ahyudin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penggelapan dalam jabatan sebagaimana dakwaan primer,” ujar ketua majelis hakim Haryadi saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (24/1)..
“Dua. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 3 tahun 6 bulan.”
Dalam menjatuhkan putusan, hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan maupun meringankan.
Hal memberatkan yaitu perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat luas. Terdakwa juga dianggap telah menyalahgunakan dana BCIF.
Sedangkan hal meringankan terdakwa berterus terang dan menyesali perbuatannya, mempunyai keluarga dan belum pernah dihukum.
Sejauh ini, jaksa dan terdakwa masih pikir-pikir sebelum mengajukan banding atas vonis yang diberikan hakim.
Ahyudin dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penggelapan dalam jabatan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini bermula ketika pada 29 Oktober 2018,maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan 610, dengan pesawat Boeing 737 Max 8, jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta. Kejadian itu mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia.
Atas peristiwa itu, Boeing menyediakan dana sebesar US$25 juta sebagai Boeing Financial Assistance Fund(BFAF) untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban kecelakaan Lion Air 610.
Selain itu, Boeing juga memberikan dana sebesar US$25 juta sebagai Boeing Community Investment Fund(BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan.
Dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, tetapi diterima oleh organisasi amal atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban.
Sebanyak 189 keluarga korban selaku ahli waris telah mendapatkan santunan dari perusahaan Boeing yaitu masing-masing ahli waris memperoleh dana sebesar US$144.320 atau senilai Rp2 miliar (kurs Rp14.000,-).
Santunan tersebut diterima langsung oleh ahli waris. Selain itu, ahli waris juga mendapatkan dana santunan berupa dana sosial BCIF dari perusahaan Boeing yang selanjutnya secara aktif pihak Yayasan ACT menghubungi keluarga korban dan mengatakan bahwa Yayasan ACT telah mendapatkan amanah (ditunjuk) dari perusahaan Boeing untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial/BCIF dari perusahaan Boeing.
Keluarga korban diminta untuk merekomendasikan Yayasan ACT kepada pihak perusahaan Boeing serta diminta untuk menandatangani dan mengisi beberapa dokumen/formulir pengajuan yang harus dikirim melalui email ke perusahaan Boeing.
Hal itu bertujuan agar dana sosial/BCIF tersebut dapat dicairkan oleh pihak Yayasan ACT dan dikelola oleh Yayasan ACT untuk pembangunan fasilitas sosial.
Tiga mantan petinggi Yayasan ACT yang merupakan terdakwa dalam kasus ini diduga telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp117.982.530.997 di luar dari peruntukannya.
Yakni untuk kegiatan di luar implementasi Boeing tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak perusahaan Boeing.