Mengenal Sosok John Lie, Pahlawan Nasional Pertama Keturunan Tionghoa

Laksamana Muda (Purn) John Lie/civitasbook

Jakarta, Gempita.co – Tak banyak yang mengetahui jika kapal perang KRI John Lie menggunakan nama seorang pahlawan. Ia adalah Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie, berdarah Tionghoa yang dikenal sebagai salah satu kapten paling berani dalam sejarah TNI-Angkatan Laut (AL).

John Lie Theng Tjoan lahir dari keluarga pengusaha pada 19 Maret 1911 di Manado. Ayahnya bernama Lie Kae Tae dan ibu Maryam Oei Tjeng Nie (keduanya penganut Buddha). John Lie juga di kenal dengan nama Jahya Daniel Dharma.

Bacaan Lainnya

Lie mendapat tanda jasa pahlawan dari Presiden Soekarno tahun 1961. Dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 November 1995.

Pada tanggal 9 November 2009 silam, 21 tahun setelah meninggal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganugerahkan gelar pahlawan nasional untuk sang pelaut pemberani ini. Inilah gelar pahlawan nasional pertama bagi keturunan Tionghoa.

Presiden SBY menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan bintang Mahaputera Adiperdana kepada Alm. Laksda Jahja Daniel Dharma (John Lie Tjeng Tjoan) yang diterima oleh Ny. Margareth Angkuw, istri almarhum/civitasbook

Joh Lie muda dikenal memiliki minat besar pada dunia pelayaran, Lie bergabung di Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), maskapai pelayaran Belanda. Namun saat Indonesia merdeka, Lie memutuskan untuk keluar dari KPM dan bergabung di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Pada tahun 1947 dan 1948, Belanda melakukan agresi militer membuat sejumlah wilayah Indonesia kembali dikuasainya. Indonesia kala itu hanya meliputi Yogyakarta dan sebagian Sumatera. Belanda juga memblokade wilayah laut dan udara. Tujuannya agar Indonesia bisa mati perlahan karena tidak ada kontak dengan pihak luar sembari ditekan terus oleh Belanda.

Menembus Blokade Belanda

KRI John Lie 358/net

Tak terduga, John Lie dengan berani menembus blokade Belanda dengan kapal yang diberi nama The Outlaw. Lie dan beberapa anak buahnya melintasi Selat Malaka sambil membawa teh, karet dan hasil bumi lainnya. Tak ada yang mengetahui, barang-barang itu dibawa ke Singapura untuk ditukar dengan senjata dan kebutuhan negaranya. Ia kemudian berlayar saat tengah malam tanpa penerangan sedikit pun agar tidak diketahui oleh pasukan Belanda dan Inggris.

Radio BBC Inggris bahkan menjulukinya “The Black Speed Boat”. Majalah Life hingga melukiskan John Le dengan “with one hand a bible and the other a gun”. Tetapi, agama bukan menjadi penghalangnya untuk memperjuangkan Indonesia. Ia pun memasok senjata untuk para pejuang di Aceh dan Sumatera yang Muslim.

Aksi John Lie tak cuma menyelamatkan ekonomi Indonesia. Dia juga membuka mata internasional kapal milik ALRI masih eksis dan mampu menembus blokade Belanda.

Ini hal penting dalam diplomasi internasional. Tahun 1947 sampai 1949, John Lie paling tidak melakukan penyelundupan 15 kali. Dia dan awak kapal The Outlaw sama sekali tak dibayar. Mereka melakukannya karena semangat patriotisme.

Hadiah dari Bung Hatta

John Lie dan Crew kapal The Outlaw/civitasbook

Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia kala itu cukup terkesan dengan keberanian John Lie beserta awak kapal The Outlaw. Hatta kemudian mengirimkan hadiah dan sebuah pesan yang diantarkan oleh kurir untuk John Lei.

Surat itu membawa kegembiraan bagi seluruh awak Kapal Outlaw. Pekerjaan yang mereka lakukan dipuji oleh seorang Wakil Presiden.

Setelah Indonesia merdeka. John Lie memimpin kapal perang ALRI untuk menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan maupun PRRI/Permesta. Tahun 1966, ia pensiun dari ALRI dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.

Setelah itu, Lie membaktikan hidupnya untuk agama dan orang-orang miskin hingga akhir hayatnya. John Lie wafat di Jakarta, pada 27 Agustus 1998 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Jakarta.

Pos terkait