GEMPITA.CO- Sejumlah teror yang terjadi beberapa hari terakhir menunjukkan generasi milenial menjadi sasaran utama perekrutan teroris.
Teror di Mabes Polri dilakukan oleh seorang wanita berusia 25 tahun. Begitu pun serangan bom di Gereja Katedral Makassar juga dilakukan oleh pasangan milenial yang masih berusia 26 tahun.
Ketua DPR Puan Maharani menilai fenomena ini amat mengkhawatirkan.
Menurut Puan fenomena tersebut tidak terlepas dari lemahnya ketahanan di tingkat keluarga.
Itulah sebabnya, dia mengingatkan pentingnya penguatan konsep ketahanan keluarga, tidak sebatas keluarga inti di rumah, melainkan interaksi sosial di masyarakat juga harus lebih diperkuat.
Tujuannya untuk mencegah menyebarnya paham radikal dan lahirnya benih-benih aksi radikal di lingkungan, kata Puan.
“Semua pihak harus saling mengingatkan dan mencegah tersebarnya paham-paham radikal di media sosial. Pasalnya, banyak pelaku teror terpapar paham radikal dari media sosial,” kata Puan dalam keterangan pers, Jumat (2/4/2021).
Puan juga menyoroti edukasi terkait keberagaman bangsa Indonesia yang menurutnya amat penting dan perlu ditanamkan kepada kalangan muda sejak dini. Dengan mengenal keberagaman di negaranya, generasi muda diharapkan memiliki dan menerapkan toleransi dan persatuan.
“Harus ada peningkatan edukasi kepada generasi muda terkait materi moderasi, toleransi, dan inklusifitas,” ujarnya.
Penyebaran paham radikal melalui lewat media sosial juga perlu mendapat pemantauan serius dari pihak terkait, kata Puan.
“Karena itu perlu ada literasi media sosial sekaligus pemantauan konten-konten sosial media yang mengandung materi-materi radikalis dan ekstremisme,” kata Puan.
Milenial jadi sasaran utama
Analis militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati mengatakan, “Milenial kebanyakan masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh,” kata Susaningtyas dalam pernyataan tertulis.
“Mereka adalah korban dari penetrasi ideologi kekerasan global yang masuk ke Indonesia,” kata Nuning, sapaan Susaningtyas Kertopati, dalam Webinar The Indonesia Intelligence Institute.
Menurut Nuning, pola rekrutmen saat ini berkembang menjadi lebih terbuka gunakan ruang publik seperti sekolah, kampus, dan perkumpulan kegiatan-kegiatan keagamaan.
“Oleh karenanya, pemerintah juga harus melibatkan milenial sebagai upaya melakukan pencegahan agar tidak ada perekrutan baru,” kata Nuning.
Nuning menjelaskan dalam menganalisa kejadian terorisme harus holistik.
“Kejadian bom bunuh diri itu tentu saja sinyal bahwa mereka ingin menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu harus dikenali embrio terorisme di Indonesia itu apa saja,” ujarnya.
Selain melibatkan milenial, pemerintah juga diharapkan melibatkan tokoh-tokoh publik.
“Rekrutmen terorisme selain dilakukan tertutup, juga ada ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan seperti di media sosial,” kata Nuning.
Yang juga perlu diwaspadai adalah proses yang disebut enabling environment yaitu menormalisasi hal yang tidak normal dirasa normal.
“Ini tidak boleh disepelekan dan harus jadi perhatian serius semua kalangan,” ujar Nuning.
Penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata.
“Jika terorisme mengancam keselamatan Presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI,” kata Nuning.
Pembicara lainnya, Alto Labetubun, menjelaskan di Timur Tengah, kelompok teroris menggunakan berbagai platform teknologi untuk menjaga eksistensi organisasinya.
“Walaupun secara wilayah ISIS tidak lagi menguasai Suriah namun mereka masih punya sistem di dunia ‘cyber’ atau ‘cyber daulah’,” kata analis keamanan yang hampir 20 tahun bertugas di Irak dan Suriah tersebut.
Alto berharap aparat pemerintah lebih melibatkan berbagai potensi masyarakat untuk mencegah terorisme.
“Banyak anak bangsa yang jago-jago, misalnya ahli hacking yang punya jiwa merah putih,” katanya.