Jakarta, Gempita.co – Mencermati seputar 48 kasus mutasi N439K yang telah terdeteksi di Indonesia. Hal ini menandakan pandemi belum usai.
“Yang jadi catatan epidemiolog, penyebaran N439K tidak secepat B.1.1.7, dan semoga ke depannya juga demikian,” kata Zubairi Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban melalui akun twiternya, Senin (15/3/2021).
Zubairi mengingatkan masyarakat untuk tetap jaga jarak, pakai masker dan menghindari kerumunan, apalagi di dalam ruangan. “Jangan bosan saling ingatkan,” terangnya.
Zubairi menjelaskan varian N439K diduga muncul dua kali secara terpisah. Pertama kali itu di Skotlandia. Pada waktu awal pandemi. Lalu, kali kedua, dengan jangkauan lebih luas di Eropa dan saat ini sudah sampai Indonesia.
Menurutnya, N439K ini awalnya dianggap menghilang saat lockdown diberlakukan di Skotlandia. Tapi justru muncul di Rumania, Swiss, Irlandia, Jerman dan Inggris. Dus, mulai November tahun lalu, varian ini dilaporkan menyebar secara luas.
“Yang paling disorot dari N439K adalah sifatnya yang resistans terhadap antibodi alias tidak mempan. Baik itu antibodi dari tubuh orang yang telah terinfeksi, maupun antibodi yang telah disuntikkan ke tubuh kita,” jelasnya.
Diketahui, Amerika Serikat mencoba antisipasi N439K ini. Mereka mengeluarkan EUA untuk dua jenis obat antibodi monoklonal dalam pengobatan Covid-19. Tapi, kata dia, yang jadi soal, N439K ini tidak mempan diintervensi oleh obat itu.
“Dikatakan Gyorgy Snell, Direktur Senior Biologi Struktural di Vir Biotechnology California, N439K punya banyak cara mengubah domain imunodominan untuk menghindari kekebalan (tubuh manusia)—sekaligus mempertahankan kemampuannya untuk menginfeksi orang,” pungkasnya.