Gempita.co-Presiden RI Joko Widodo menyetujui pemberian amnesti untuk dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi.
Hanya saja proses pemberian amnesti itu kini tinggal menunggu persetujuan oleh DPR. Sebab berdasarkan Undang-Undang, Presiden harus mendengar DPR bila akan memberikan amnesti dan abolisi.
“Alhamdulillah kita bekerja cepat, karena setelah dialog saya dengan istri Saiful Mahdi dan para pengacaranya tanggal 21 September, besoknya saya rapat dengan pimpinan Kemenkumham dan pimpinan Kejaksaan Agung, dan saya katakan kita akan mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Lalu tanggal 24 saya lapor ke Presiden, dan bapak Presiden setuju untuk memberikan amnesti,” ujar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (5/10).
Selanjutnya kata Mahfud, secara cepat pada 29 September lalu, surat Presiden sudah dikirimkan kepada DPR untuk meminta pertimbangan lembaga itu terkait amnesti untuk Saiful Mahdi. Menurut Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, Presiden harus mendengarkan DPR lebih dulu bila akan memberikan amnesti dan abolisi.
“Nah, sekarang kita tinggal menunggu, dari DPR apa tanggapannya, karena surat itu mesti dibahas dulu oleh Bamus, lalu dibacakan di depan Sidang Paripurna DPR, jadi kita tunggu itu. Yang pastii, dari sisi pemerintah, prosesnya sudah selesai,” ujar Mahfud.
Mahfud mengatakan, pemerintah bekerja cepat dalam kasus ini karena sudah berkomitmen untuk tidak terlalu mudah menghukum orang. “Kita kan pinginnya restorative justice, dan ini kasusnya hanya mengkritik, dan mengkritik fakultas bukan personal, karena itu menuut saya layak dapat amnesti, makanya kita perjuangkan” tegas mantan Ketua MKRI ini.
Mahfud sebelumnya sudah berdialog dengan pihak Saiful Mahdi yang diwakili istri, para kuasa hukum, dan dengan didampingi lembaga SAFEnet serta tiga akademisi yakni Zaenal Arifin Mochtar, Nikmatul Huda, dan Herlambang pada 21 September lalu. Tiga hari setelah pertemuan itu, Mahfud menghadap Presiden untuk menyampaikan permintaan pihak Saiful Mahdi dan menjelaskan proses hukum yang sudah ditempuh.
Informasi dihimpun, Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Saiful Mahdi tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider satu bulan penjara setelah melalui 18 kali sidang. Adapun, Saiful tersangkut pencemaran nama baik lewat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena melontarkan kritik di sebuah grup Whatsapp.
Hal itu bermula ketika dia menulis di grup Whatsapp ‘Unsyiah Kita’ pada Maret 2019 mengkritik hasil penerimaan CPNS di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala pada 2018.
Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Taufiq Saidi, kemudian melaporkan Saiful ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik berbekal tulisan di grup Whatsapp itu.
Lantas, Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Saiful Mahdi tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider satu bulan penjara setelah melalui 18 kali sidang.
Saiful Mahdi sempat menempuh upaya banding dan kasasi dalam perkara UU ITE ini, tetapi semuanya kandas. Karena itu, ia mempertimbangkan upaya peninjauan kembali dan pengajuan amnesti.