Proposal Damai Rusia-Ukraina, Perempuan Indonesia Raya: Prabowo Perjuangkan Perempuan dan Anak Korban Perang

Gempita.co-Aktivis Perempuan dan Wakil Ketua Umum Perempuan Indonesia Raya (PIRA), Edriana, menilai bahwa proposal perdamaian Rusia-Ukraina yang ditawarkan oleh Prabowo Subianto di forum internasional bukti bahwa ia sosok yang pemberani dan punya sikap yang jelas, karena perang yang tidak kunjung usai telah memberikan dampak buruk terhadap kemanusian terutama nasib anak-anak dan kaum perempuan.

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mengusulkan rencana perdamaian untuk perang di Ukraina. Salah satunya menyerukan agar kedua pasukan mundur dan membuat zona demiliterisasi dan mengundang keterlibatan PBB untuk terlibat dalam resolusi konflik  di wilayah yang disengketakan.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

Hal ini disampaikan Prabowo saat berbicara di International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue ke-20 di Singapura pada Sabtu (3/6/2023).

Edriana berkata perang atas alasan apapun harus diakhiri jika kita ingin hidup damai. Perang tidak sekadar adu gengsi siapa yang harus menang atau kalah. Namun, kemanusian harus diletakkan diatas segalanya.

Banyak anak-anak yang menjadi korban dalam setiap perang, mulai dari korban fisik, trauma mental akibat setiap hari harus melihat kekerasan disekitarnya, harus terhenti sekolahnya dan kehilangan waktu bermain dengan keluarga dan temannya.

Begitupun juga kita lihat bagaimana perempuan menjadi korban dari kekejaman perang. Hal tersebut yang dijelaskan oleh Prabowo sebagai alasan agar segera mengakhiri perang Rusia dan Ukrania.

“Sikap berani yang dipilih oleh Prabowo dengan menawarkan proposal damai konflik Rusia-Ukraina bukti bahwa ia  peduli dengan nasib anak-anak dan kaum perempuan yang selalu menjadi korban kemanusiaan  di wilayah perang,” jelas Edriana.

Edriana juga mengungkapkan bahwa perempuan tidak hanya terdampak secara fisik saja, tetapi juga secara psikologis karena menyaksikan orang-orang terkasihnya yang harus pergi kemedan perang dan tidak ada kepastian apakah akan kembali pulang dalam keadaan hidup, cacat atau mati.

Perang dengan alasan apapun, apakah karna agama, etnisitas atau perebutan sumberdaya dan kuasa yang berkepanjangan bahkan menyebabkan perempuan menjadi korban pelampiasan nafsu laki-laki yang sedang berperang.

Ia juga mengungkapkan bahwa perempuan selalu dipersonifikasikan sebagai simbol dari harga diri sebuah bangsa, maka perempuan menjadi korban perkosaan sebagai penaklukan dari simbol kehormatan dari negara yang sedang berperang.

Perkosaan terhadap perempuan dipandang sebagai penaklukan terhadap bangsa yang diperangi atau bangsa yang dijajah.  Terjadi perkosaan massal terhadap perempuan untuk menunjukkan bahwa negara “lawan” telah gagal dalam melindungi para perempuannya, perkosaan terhadap perempuan, anak perempuan, saudara perempuan, istri bahkan ibu dari para pihak yang berperang dianggap sebagai penaklukan terhadap lawan.

“Di era perang dunia kedua kita mengenal Jugun Ianfu, perempuan-perempuan dijadikan budak seksual oleh penjajah pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Jugun Ianfu terkenal sebagai perempuan yang menjadi korban sebagai budak seksual tentara Jepang dinegara-negara jajahannya termasuk Indonesia, dimana puluhan ribu perempuan yang dipaksa menjadi Jugus Ianfu di Indonesia,” ungkap Edriana.

 

Kemenkumham Bali

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali