Jakarta, Gempita.co – OC Kaligus buka suara soal wacana hukuman mati bagi koruptor yang disampaikan Jaksa Agung Burhanuddin. Menurut Advokat senior itu, banyak korban vonis korupsi di Lapas yang tidak merampok uang negara, mereka dihukum karena kebijakan yang mereka buat.
OC Kaligis mengatakan, banyak perkara yang diabaikan justru terkesan dilindungi. Ia mencontohkan kasus Novel Baswedan, Denny Indrayana dan dugaan perkara yang menyangkut eks komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum era Firli Bahuri. Selain itu, menerapkan hukuman mati terhadap oknum jaksa yang terbukti korupsi.
Hal ini disampaikan OC Kaligis melalui surat terbuka yang ditulisnya dari Lapas Sukamiskin Bandung, Minggu (21/11/2021).
“Bila Bapak Jaksa Agung benar-benar hendak menegakkan hukum, tugas pertama didepan mata Bapak adalah adili Novel Baswedan, Prof. Denny Indrayana. Cekal kepergian Prof. Denny keluar negeri. Hukum mati para oknum Jaksa yang terlibat korupsi. Baru pada saat itu Bapak Jaksa Agung yang saya hargai dan hormati sebagai pahlawan penegak hukum, pahlawan pemberantas korupsi. Semoga masukan saya ini mendapat perhatian Bapak Jaksa Agung,” kata OC Kaligis melalui surat terbuka.
Dalam suratnya, ia juga menyebut kasus dugaan korupsi yang dilakukan Denny Indrayana, yang menguap begitu saja, meski penyidik polisi telah selesai melakukan gelar perkara.
“Saya yakin disaat dimulainya dilakukan penyidikan polisi berdasarkan Pasal 109 (1) KUHAP telah memberitahukannya kepada kejaksaan,” ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, kasus pidana dugaan suap Aspidum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto, Jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang terbebas hukuman mati, bahkan dikenakan hukuman ringan.
“Percobaan suap oleh Marudut Pakpahan, PT. Brantas Adipraya kepada Kejati DKI, diduga diintervensi oleh Jaksa Agung Prasetyo, sekalipun dakwaan menetapkan keterlibatan Kejati. Banyak catatan mengenai oknum Jaksa yang terlibat dugaan kasus korupsi, yang bebas ancaman hukuman mati seperti yang diserukan oleh Bapak Jaksa Agung,” ungkap OC Kaligis.
“Bahkan sekarang saya lagi menggugat kejaksaan yang melindungi tersangka dugaan pembunuhan Novel Baswedan. Kelihatannya Jaksa Agung adalah bawahan Ombudsman,” sambung penulis buku “KPK Bukan Malaikat” itu.
Ia juga menyebut Jaksa Agung tunduk kepada sepucuk surat Ombudsman yang memerintahkan Jaksa Agung untuk tidak mentaati putusan Pengadilan Negeri Bengkulu.
“Walaupun ada perintah Pengadilan Negeri Bengkulu, tetap saja Jaksa Agung tidak mentaati perintah pengadilan yang memerintahkan agar Jaksa Agung melimpahkan perkara Novel Baswedan,” sebutnya.
Wacana Hukuman Mati
Sebelumnya, Jaksa Agung Burhanuddin menyatakan dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, selain upaya preventif juga diperlukan upaya represif yang tegas sebagai efek jera. Pihaknya telah melakukan berbagai macam upaya untuk menciptakan efek jera.
“Upaya prefentif yang dilakukan dalam penuntutan di antaranya, penjatuhan tuntutan yang berat sesuai dengan tingkat kejahatan, merubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset. Kemudian, pemiskinan koruptor dengan melakuan perampasan aset koruptor melalui asset tracing, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal,” papar Jaksa Agung, dalam keterangannya, Jumat (19/11/2021).
Jaksa Agung menegaskan, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, posisi Kejaksaan adalah mengendalikan suatu perkara pidana dari tahapan awal (penyelidikan) sampai dengan akhir (ekseskusi) sebagai satu kesatuan proses penuntutan.
“Kewenangan Kejaksaan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Kejaksaan, perlu diskusikan bersama. Karena keberhasilan pada tahap akhir inilah suatu perkara pidana dapat dikatakan telah tuntas,” jelasnya.(*)