Ribuan Orang Mencari Air, Ironisnya Tempat-tempat Penampungan PBB di Gaza Kehabisan air  

Gempita.co – Ribuan orang membutuhkan air, ketika tempat-tempat penampungan yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Gaza kehabisan air.

Mereka memadati halaman rumah sakit terbesar di wilayah yang terkepung itu sebagai tempat perlindungan terakhir dari serangan darat Israel.

Bacaan Lainnya
Gempita Bali Transport

Para dokter kewalahan merawat para pasien yang mereka khawatirkan akan mati begitu generator kehabisan bahan bakar.

Warga sipil Palestina di seluruh Gaza, yang sudah terpukul oleh konflik selama bertahun-tahun, Minggu (15/10), berjuang untuk bertahan hidup dalam menghadapi operasi Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap wilayah itu.

Operasi tersebut menyusul serangan militan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan 1.300 warga Israel, sebagian besar di antaranya adalah warga sipil.

Israel telah memutus aliran makanan, obat-obatan, air dan listrik ke Gaza, menggempur lingkungan disekitarnya dengan serangan udara dan memerintahkan sekitar 1 juta penduduk di wilayah utara untuk mengungsi ke selatan menjelang serangan yang direncanakan Israel.

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan lebih dari 2.300 warga Palestina telah tewas sejak pertempuran meletus akhir pekan lalu.

Kelompok-kelompok bantuan menyerukan perlindungan bagi lebih dari 2 juta warga sipil di Gaza, dan mendesak dibuatnya koridor darurat untuk pengiriman bantuan kemanusiaan.

“Perbedaannya dengan eskalasi ini adalah kami tidak mendapat bantuan medis dari luar, perbatasan ditutup, listrik padam, dan ini merupakan bahaya besar bagi pasien kami,” kata Dr. Mohammed Qandeel, yang bekerja di Rumah Sakit Nasser di daerah Khan Younis selatan.

Para dokter di zona evakuasi mengatakan mereka tidak dapat memindahkan pasien dengan aman, sehingga memutuskan tetap tinggal untuk merawat mereka.

“Kami tidak akan mengevakuasi rumah sakit meskipun hal itu mengorbankan nyawa kami,” kata Dr. Hussam Abu Safiya, kepala pediatri di Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahia.

Jika mereka pergi, tujuh bayi baru lahir di unit perawatan intensif akan meninggal, katanya. Kalaupun mereka bisa memindahkannya, tidak ada tempat bagi mereka untuk pergi di wilayah pantai sepanjang 40 kilometer (25 mil) itu.

“Rumah sakit penuh,” kata Abu Safiya. Arus warga yang terluka berdatangan setiap hari dengan anggota badan yang terputus dan luka yang mengancam jiwa, katanya.

Sumber: voa

Pos terkait

Iklan Layanan Masyarakat Kemenkumham Bali