Jakarta, Gempita.co – Selama menjajah Nusantara, kompeni Belanda banyak melakukan aksi keji. Salah satu kelompok masyarakat yang mereka habiso adalah orang-orang Tionghoa di Batavia.
Lebih dari 10.000 orang Tionghoa dibantai karena kompeni Belanda merasa iri dan tersaingi terutama dalam bidang perdagangan. Belanda mengamuk dan terjadilah huru-hara besar.
Tragedi pembunuhan massal ini terjadi pada tahun 1740. Lokasi utama pembantaian adalah di seputar Kali Angke yang kini masuk dalam wilayah Jakarta Barat.
Kala itu, dilansir Gempita.co dari nationalgeographic.co.id, Selasa (17/5), kompeni Belanda berkuasa penuh di Batavia terutama melalui kongsi dagangnya yang amat terkenal, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pada waktu yang bersamaan, arus imigrasi ke kota Batavia mengalir deras, termasuk pula datangnya orang-orang Tionghoa.
Orang-orang Tionghoa itu konon mempunyai budi pekerti yang ramah, sopan, dan suka membantu masyarakat pribumi (Betawi). Kepada penguasa daerah mereka cenderung patuh dan menaati peraturan yang berlaku.
Selain itu, orang-orang Tionghoa juga memiliki keahlian berdagang. Untuk itu mereka mau membaur dengan warga pribumi.
“Rupanya, ini membuat khawatir kompeni Belanda. Kompeni takut tersaingi. Makanya, berbagai cara pun mereka lakukan agar tidak bisa disaingi dan bahkan digeser oleh keberadaan orang-orang China itu,” tulis Zaenuddin HM dalam buku “Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe”.
Kompeni Belanda melakukan intervensi terhadap warga setempat ataupun orang-orang Tionghoa. Belanda juga merekrut pamong praja untuk dijadikan kaki tangannya.
“Cara jahat kemudian dilakukan dengan mengadakan penangkapan besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa. Di akhir tahun 1739, sekitar seratus warga China ditangkap, mulai dari bekasi hingga Tanjung Priok,” catat Zaenuddin.
Merasa terusik, orang-orang Tionghoa mencoba melakukan perlawanan. Nahasnya, Belanda malah menjadi semakin kesal dan keki. Hasil rapat parlemen pada 26 Juli 1740 membuahkan resolusi berupa penangkapan secara terus-menerus terhadap orang-orang Tionghoa yang dianggap mencurigakan atau melawan kekuasaan kompeni Belanda.
Puncak dari kebencian Belanda itu, meletuslah tragedi bengis berupa pembantaian massal yang didahului bentroakan antara orang-orang Tionghoa dengan tentara Belanda pada Oktober 1740. “Secara biadap kompeni Belanda melakukan penyerangan terhadap orang-orang China yang berada di rumah, kedai, jalan, atau bersembunyi di beberapa tempat. Mereka tak diberi celah untuk lari dari kota Batavia. Mereka ditembak dan ditikam pada siang dan malam,” tulis Zaenuddin.
Bersamaan dengan itu, ribuan rumah warga Tionghoa di kota Batavia juga dibakar dan barang-barangnya dijarah. Selama hampir tiga hari api berkobar menghangus rumah-rumah dan semua isinya tersebut.
Aksi pembantaian itu menewaskan sedikitnya 10.000 orang Tionghoa. Mayat-mayat mereka bersimbah darah dan bergelimpangan di jalan-jalan, kali, dan kanal sehingga air kali berubah menjadi merah, terutama Kali Angke yang letaknya tak jauh dari permukiman warga Tionghoa.
Dari peristiwa mengerikan inilah kemudian banyak orang berpikiran nama Kali Angke berasal dari bahasa orang Tionghoa. Persisnya, ungkap Zainuddin, berasal dari dua kata bahasa Hokkian, yakni “ang” yang berarti merah dan “ke” yang berarti kali.
Sumber: Nationalgeographic.co.id