Jakarta, Gempita.co-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka, bersama enam orang lainnya.
Menteri Edhy diduga “membelanjakan uang gratifikasi terkait izin ekspor benih lobster saat kunjungannya ke Amerika Serikat 21-23 November 2020”.
Usai mengikuti jumpa pers, Edhy Prabowo mengatakan pada wartawan, “Ini adalah kecelakaan, Saya akan bertanggung jawab dunia akhirat. Saya minta maaf kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat perikanan yang mungkin banyak terkhianati.”
“Saya juga minta maaf kepada keluarga besar partai saya [Gerindra] dan saya akan mengundurkan diri sebagai wakil ketua umum partai. Saya juga akan minta untuk tidak lagi jadi menteri, dan saya kira prosesnya sudah berlangsung. Saya akan hadapi ini dengan jiwa besar,” kata Edhy sambil berjalan keluar gedung KPK untuk ditahan di rutan KPK cabang Gedung Merah Putih.
Dalam jumpa pers KPK pada Rabu (25/11/2020) malam sekitar pkl 23.35 WIB, disebutkan Menteri Edhy terjaring dalam operasi tangkap tangan sepulang dari kunjungan kerja ke AS. Pada saat lawatan di AS itulah diduga Edhy dan istrinya membelanjakan uang senilai Rp750 juta yang berasal dari dugaan pemberian hadiah dalam kasus ekspor benih lobster.
“Pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening pengurus PT ACK ke rekening salah satu bank atas nama AF (staf istri menteri Edhy) sebesar Rp3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy Prabowo dan istrinya serta SAF dan APM [keduanya staf khusus Menteri Edhy],” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
“Uang itu lalu digunakan untuk belanja barang mewah di Honolulu AS pada tanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy,” kata Nawawi
Barang-barang itu lalu diperlihatkan dalam jumpa pers KPK, termasuk pula sebuah sepeda. Namun belum jelas bagaimana keterkaitan sepeda itu dalam kasus yang menjerat Edhy.
Berdasarkan informasi yang diterima KPK, sejumlah tim lalu dibentuk hingga kemudian mereka melakukan operasi tangkap tangan pada Rabu (25/11) sekitar pkl 00.30 di sejumlah lokasi yakni Bandara Soekarno Hatta, Depok, Tangerang Selatan, dan Bekasi.
Total ada 17 orang yang diamankan dan diperiksa KPK, termasuk Menteri KKP Edhy Prabowo dan istrinya yang juga merupakan anggota DPR, serta dua orang dirjen di Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta sejumlah staf khusus Menteri Edhy, staf istri menteri Edhy, juga pengusaha.
Dari ketujuh belas orang itu, KPK akhirnya menetapkan tujuh orang tersangka dan dua orang di antaranya diminta menyerahkan diri.
Ketujuh tersangka itu adalah:
Edhy Prabowo – Menteri Kelautan dan Perikanan
APM – Staf Khusus Menteri KKP/Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster
SAF – Staf Khusus Menteri KKP/Wakil Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster
AF – staf istri Edhy Prabowo
SJT – Direktur PT DPPP (perusahaan eksportir benur) – tersangka pemberi suap
Dua orang yang belum ditangkap dan diminta menyerahkan diri adalah APM (Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster) dan AM (pengurus PT ACK).
Sementara lima orang tersangka lainnya, termasuk Edhy Prabowo, sepanjang jumpa pers diarahkan petugas KPK untuk berdiri menghadap tembok di belakang pimpinan KPK yang memberikan keterangan pers.
KPK perlihatkan barang bukti di antaranya berupa ‘jam mewah dan tas mewah’ yang dibeli Edhy dalam lawatannya ke AS.
Kasus ini bermula dari diterbitkannya surat keputusan oleh Menteri Edhy Prabowo tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Tim ini bertugas untuk memeriksa kelengkapan dokumen yang diajukan oleh perusahaan calon eksportir benih lobster atau benur.
Edhy menunjuk staf khususnya: APM dan SAF sebagai ketua dan wakil ketua tim uji tuntas tersebut.
“Selanjutnya pada awal bulan Oktober 2020, SJT selaku Direktur PT DPPP datang ke kantor KKP di lantai 16 dan bertemu dengan SAF. Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800/ekor,” jelas Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sekitar Rp731 juta.
Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening dua orang pemegang PT ACK masing-masing dengan total Rp9,8 miliar.
“Pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening pengurus PT ACK ke rekening salah satu bank atas nama AF (staf istri Menteri Edhy) sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Menteri Edhy dan istrinya, serta ketua dan wakil ketua tim uji tuntas (SAF dan APM),” kata Wakil Ketua KPK Nawawi.
“Pada sekitar bulan Mei 2020, Menteri Edhy diduga juga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100.000 dari SJT melalui pengurus PT ACK,” tambahnya.