Indonesia Perlu Atasi Pertumbuhan Ekonomi Nasional Tidak Merata

Ilustrasi/Istimewa

Gempita.co – Persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia, saat ini adalah
pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di setiap wilayah masih menjadi persoalan dan perlu diatasi.

Demikian dikatakan, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo dalam diseminasi Laporan Nusantara serta Peluncuran Buku Manufaktur dan Pariwisata yang dipantau di Jakarta, Jumat (18/11/2022).

Bacaan Lainnya

“Saat kita bicara kondisi perekonomian secara makro, kita melihat perekonomian masih relatif baik. Secara granular dan mikro, mungkin ini tantangan yang harus kita lihat,” kata Dody.

Menurutnya, saat perekonomian nasional telah tumbuh kembali ke level sebelum pandemi COVID-19, perekonomian beberapa daerah belum pulih karena bukan daerah pengekspor, daerah industri manufaktur, ataupun penghasil jasa.

“Ini menjadi dasar Bank Indonesia untuk mengambil kebijakan. Kita akan melihat kondisi perekonomian secara lengkap dari secara agregat maupun setiap wilayah,” kata Dody.

Untuk itu sejak 2016 Bank Indonesia merilis Laporan Nusantara yang merupakan hasil karya 46 kantor cabang BI untuk memetakan kondisi perekonomian daerah yang menjadi dasar pengambilan kebijakan BI.

Ke depan BI juga akan terus melakukan pembauran kebijakan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, menahan laju inflasi, dan melakukan stabilisasi sektor keuangan nasional.

Adapun sebelumnya Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen yang diyakini menjadi salah satu kebijakan yang tepat untuk diambil.

“Kenaikan suku bunga acuan menjadi kebijakan terakhir kita ambil, karena kita sadar stabilitas harus berjalan bersama dengan pertumbuhan ekonomi. Momentum pemulihan, khususnya di daerah, juga menjadi dasar kita melihat suku bunga sebagai salah satu revolusi kebijakan kita,” ucap Dody.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menurunkan proyeksi inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2022 menjadi 5,6 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), dari perkiraan sebelumnya sebesar 6,3 persen (yoy).

“Angka ini lebih rendah dari consensus forecast yang sebesar 5,9 persen (yoy), jadi angka consensus forecast masih tinggi, meski menurun dari perkiraan sebelumnya yakni 6,7 persen (yoy),” ungkap Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulan November 2022 yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.

Sementara untuk inflasi inti, ia memperkirakan pada akhir tahun ini akan mencapai 3,5 persen (yoy), yang kemudian meningkat menjadi 3,7 persen (yoy) pada triwulan I-2023 sebagai puncak peningkatan inflasi inti.

Dengan demikian BI berkomitmen akan menurunkan inflasi inti ke level di bawah 4 persen (yoy) pada paruh pertama tahun depan, salah satunya melalui kenaikan suku bunga acuan sebagai langkah frontloaded.

Bersama pemerintah, bank sentral juga akan terus melanjutkan subsidi, Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP), hingga koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID).

Dengan seluruh langkah tersebut, Perry Warjiyo meyakini inflasi pangan (volatile food) dan inflasi harga diatur pemerintah (administered prices) terkendali sehingga secepat mungkin inflasi IHK bisa turun ke level 2 persen sampai 4 persen, sebagaimana target awal BI.

Adapun inflasi IHK pada Oktober 2022 tercatat sebesar 5,71 persen (yoy) atau masih di atas sasaran 2 persen sampai 4 persen, meskipun lebih rendah dari perkiraan dan inflasi bulan sebelumnya sebesar 5,95 persen (yoy).

“Inflasi kelompok volatile food turun menjadi 7,19 persen (yoy) dan perlu penguatan sinergi dan koordinasi kebijakan yang erat melalui TPIP dan TPID serta GNPIP untuk penurunan lebih lanjut,” tuturnya.

Kemudian, sambung dia, inflasi administered prices pada bulan lalu tercatat sebesar 13,28 persen (yoy) dan perlu penguatan koordinasi untuk memitigasi dampak lanjutan dari penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) serta tarif angkutan agar lebih rendah.

Inflasi inti tercatat sebesar 3,31 persen (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya sejalan dengan dampak rambatan dari penyesuaian harga BBM dan meningkatnya ekspektasi inflasi.

Sumber: parstoday

Pos terkait