Jakarta, Gempita.co – Indonesia berhasil meraih tambahan kuota tangkapan tuna sirip biru dari 1.023 ton untuk blok kuota tahun 2018-2020 menjadi sebesar 1.123 ton untuk blok kuota tahun 2021-2023. Penambahan kuota ini disetujui dengan perundingan yang cukup alot pada sidang Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang dihelat pada tanggal 12-16 Oktober 2020.
Plt. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Muhammad Zaini menjelaskan periode sebelum Indonesia mulai menerima kuota tuna sirip biru sejak tahun 2010 sebesar 750 ton. Secara bertahap Indonesia mendapatkan kenaikan kuota hingga sebesar 1.023 ton untuk blok kuota tahun 2018-2020.
“Setelah mengikuti sidang CCSBT yang cukup pelik, akhirnya sore tadi tanggal 16 Oktober 2020 kuota tangkapan Indonesia resmi ditambah. Jepang, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Taiwan, Uni Eropa, dan Afrika Selatan setuju dengan usulan penambahan kuota untuk Indonesia tersebut. Dengan demikian, Indonesia berhasil mendapatkan tambahan 100 ton (30%) dari 306 ton yang diperebutkan,” ujar Zaini.
Hal tersebut merupakan sebuah prestasi yang membanggakan untuk penambahan kuota Indonesia. Mengingat terakhir kali Indonesia mendapatkan tambahan kuota sebesar 273 ton (sekitar 9%) dari 3.000 ton yang diperebutkan pada tahun 2016.
“Dalam sidang tersebut, Indonesia sangat mengapresiasi kerja sama yang baik dari negara anggota CCSBT yang lain. Kita juga ingatkan bahwa CCSBT perlu merumuskan formulasi yang lebih proporsional dalam pembagian kuota sehingga tidak terdapat ketidakadilan dan gap yang lebar antar negara anggota CCSBT,” imbuh Zaini.
Ia menilai partisipasi aktif Indonesia pada CCSBT sangat penting bagi pengelolaan hasil tangkapan tuna sirip biru di dunia. Hal ini juga sebagai bentuk pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Sangat Krusial
Sementara itu Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Trian Yunanda yang menjadi ketua delegasi Indonesia pada sidang CCSBT menerangkan pertemuan internasional ini sangat krusial bagi keberlanjutan pengelolaan tuna sirip biru di Indonesia. Khususnya terkait kuota alokasi tuna yang dibagikan.
“Menilik kembali ke belakang, setelah Indonesia resmi menjadi anggota CCSBT agar tuna sirip biru yang tertangkap bisa diekspor, ketidakadilan dalam proporsi pembagian kuota sudah lama terjadi. Ini disebabkan formulasi pembagian kuota yang cenderung tidak memihak developing coastal states dan traditional fishing practices,” ujarnya saat mengikuti serangkaian pertemuan tahunan CCSBT yang diawali dengan 15th Meeting of the Compliance Committee dan dilanjutkan dengan 27th Meeting of the Extended Commission of the CCSBT.
Dalam forum tersebut, delegasi Indonesia mendesak CCSBT dengan sebuah pernyataan tegas agar CCSBT meninjau kembali formulasi pembagian kuota. Pernyataan tersebut diterima dan diadopsi sebagai hasil pertemuan. Diterimanya pernyataan Indonesia tersebut diharapkan dapat menjadi kunci dibukanya kembali perundingan formulasi pembagian kuota yang lebih berkeadilan.
Harganya Pernah Menembus Rekor Dunia
Tuna sirip biru atau yang dikenal sebagai southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii) merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting yang harganya pernah menembus rekor dunia dengan harga Rp 25 miliar untuk satu ekor tuna berbobot 276 kilogram. Sebagai ikan beruaya jauh, tuna dikelola oleh Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional atau Regional Fisheries Management Organization (RFMO).
Dalam hal pengelolaan tuna sirip biru, RFMO yang mengelola adalah CCSBT. Indonesia menjadi negara anggota (contracting party) pada CCSBT sejak tahun 2008 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna.
Indonesia menjadi anggota CCSBT setelah adanya trade restrictive measures yang diterapkan oleh CCSBT sejak tahun 2006 sehingga produk Indonesia mengalami pelarangan ekspor (trade ban) ke negara-negara anggota CCSBT dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, apabila Indonesia tidak menjadi anggota CCSBT, maka hasil tangkapan tuna sirip biru Indonesia akan dianggap sebagai produk IUU Fishing dan tidak dapat dipasarkan ke pasar internasional.