Industri Makanan dan Minuman Indonesia, Alami Diskriminasi di Eropa

Jakarta, Gempita.co – Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan, produk-produk sektor industri makanan dan minuman Indonesia menghadapi berbagai masalah, terutama diskriminasi tarif bea masuk dan aturan anti-subsidi di negara-negara tujuan ekspor sehingga sulit berkembang.

Seperti produk coklat asal Indonesia mendapatkan bea masuk lebih tinggi ke Eropa dibandingkan produk sejenis dari Afrika.

Bacaan Lainnya

Uni Eropa juga terus mendiskriminasi dan melakukan kampanye negatif untuk produk kelapa sawit dan olahannya.

“Industri makanan dan minuman juga menghadapi masalah kurangnya bahan baku untuk beberapa produk industri, serta harga komoditas yang berfluktuasi,” ujar Rochim dalam diskusi virtual, Rabu.

Masalah lain adalah kurangnya informasi mengenai hambatan tarif dan nontarif di negara tujuan serta kurangnya informasi peraturan impor dan distribusi di negara tujuan.

“Penetrasi pasar ke negara berkembang juga belum optimal,”ujarnya.

Menurut dia, pemerintah terus berupaya mendorong ekspor melalui upaya memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan beberapa negara.

“Pemerintah mempercepat negosiasi FTA serta meningkatkan utilisasi FTA, serta perluasan ekspor ke pasar nontradisional,” jelas Rochim.

Pemerintah juga menginisiasi FTA bilateral sesuai kebutuhan industri dan juga memfasilitasi pembiayaan ekspor, pendampingan kasus perdagangan tidak adil, serta membantu mengurangi hambatan nontarif untuk ekspor.

“Kita juga mendorong penguatan industri dan promosi internasional untuk produk-produk Indonesia,” kata dia.

Meski demikian, kata Rochim, industri makanan dan minuman menjadi salah satu andalan perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19.

Industri ini pada masih tumbuh positif 0,66 persen pada kuartal ketiga lalu, padahal subsektor industri lain mengalami kontraksi.

“Kontribusi sub-sektor industri makanan dan minuman terhadap PDB industri pengolahan di kuartal ketiga mencapai 39,19 persen,” jelas dia.

Kondisi serupa juga terjadi pada industri kimia, farmasi, dan obat tradisional.

Industri ini bahkan bisa tumbuh dua digit mencapai14,9 persen dengan kontribusi terhadap PDB industri pengolahan mencapai 10,98 persen.

Sub-sektor industri ini juga memiliki kontribusi yang besar terhadap nilai ekspor.

Secara keseluruhan kontribusi ekspor sektor industri mencapai 80,52 persen dari total ekspor nasional yang mencapai USD117,19 miliar hingga September 2020.

“Kontribusi ekspor produk makanan dan minuman merupakan yang terbesar dengan jumlah USD21,38 miliar,” tambah Rochim.

Dia menjabarkan 10 besar komoditas ekspor produk makanan dan minuman, di luar minyak kelapa sawit, antara lain udang dibekukan, makanan olahan lainnya, mentega, lemak, dan minyak kakao, serta margarin.

Kemudian komoditas ekspor makanan minuman adalah biota air lainnya yang diolah atau diawetkan, bungkil dan residu, olahan kopi dan teh, roti dan kue, ikan dibekukan, dan minyak kelapa.

Sumber: anadolu agency

Pos terkait