OC Kaligis: Saya Tidak Takut Ungkap Fakta Kebengisan Novel Baswedan

OC Kaligis

Gempita.co – OC Kaligis terus buka-bukaan soal perkara dugaan pembunuhan yang diduga menjerat Novel Baswedan saat bertugas di Polres Bengkulu. Advokat yang saat ini menjadi warga binaan Lapas Sukamiskin Bandung, mengaku tidak takut dan tidak akan pernah mundur untuk terus mengungkap kasus eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Ia menyebut bengisnya Novel juga telah dibuka di pengadilan.

“Semua sudah saya buka di pengadilan, saya tidak takut untuk mengungkap fakta bengisnya Novel Baswedan, karena yang saya sampaikan ini semua adalah fakta hasil gelar perkara pihak kepolisian, saya tidak takut meski saya sekarang jadi warga binaan Lapas Sukamiskin. Ini semua saya lakukan untuk membuktikan bahwa hukum itu tidak tebang pilih, dan tidak ada kebal hukum,” kata OC Kaligis, melalui dalam surat terbuka diterima, Selasa (14/12/2021).

Bacaan Lainnya

Berikut isi salah satu surat terbuka OC Kaligis:

Sukamiskin, 1 September 2021

Surat terbuka kepada semua pemerhati hukum, Saya Prof. Otto Cornelis Kaligis, sekarang berdomisili hukum sementara di Lapas Sukamiskin, bersama ini mengajak semua rekan penasehat hukum yang punya nurani keadilan untuk merenungkan runtuhnya penegakan hukum di bumi Indonesia.

Dengan terang benderang saya berani mengatakan di sini, penyebab runtuhnya, adalah hanya karena ulah seorang tersangka penganiaya dan pembunuh bernama Novel Baswedan. Sosok yang menguasai media, menguasai ICW, LSM, Ombudsman, Komnas HAM dan semua para professor yang buta hukum sehingga mudah diprovokasi, untuk ikut berkonspirasi bersama Novel Baswedan hanya untuk menyesatkan penegakan hukum.

Hancurnya penegakan hukum dimulai dari KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Adalah Ketua Komisioner Antasari, seorang jaksa yang punya reputasi, yang bendak membersihkan korupsi KPK. Antasari pun berhasil, dimulai dari terjaringnya tersangka korupsi Bibit dan Chandra Hamzah, yang dua-duanya sempat menjabat sebagai Komisioner KPK. Hasil investigasi Antasari, menyebabkan Bibit-Chandra Hamzah, disangka dan ditetapkan sebagai terdakwa korupsi. Mereka sempat ditahan di Makko Brimob, setelah kejaksaan menetapkan kasus korupsi mereka dinyatakan berkasnya lengkap alias P-21

Antasari berhasil membersihkan KPK, sekalipun karena keberaniannya menangkap besan presiden SBY saudara Pohan, akhirnya Antasari dijebloskan ke penjara melalui rekayasa kasus. Belum lagi jera menjadi markus dalam perkara PT. Masaro, kembali oknum KPK berulah dalam kasus Nazaruddin. Sejumlah nama pun terseret kasus pengurusan proyek. Nazaruddin bahkan bisa bertemu langsung dengan Chandra Hamzah di kamar kerjanya.

Pemeriksaan kode etik di era Nazarudin, saya hadiri bersama advokat saya saudara Boy dan Dea Tunggaesti. Bibit hadir selaku anggota pemeriksa etik. Saya keberatan karena Bibit masih berstatus tersangka korupsi deponeering. Namanya tak pernah dipulihkan. Bagaimana mungkin seorang tersangka bisa ikut mengadili dan hadir di sidang etik? Namun keberatan saya diabaikan Abdullah Hehamahua selaku pemimpin pemeriksaan etik. Media pendukung, sama sekali tidak membuka peranan busuk Chandra Hamzah sekalipun terungkap beberapa kali pertemuan Nazaruddin dengan Chandra Hamzah.

Hasil akhir keputusan Abdullah Hehamahua adalah membebaskan Chandra Hamzah dari pelanggaran etik. Beda dengan pemeriksaan etik saudara Lili Pintauli Siregar. Tentu yang hadir kecewa, termasuk anggota etik DR. Nono Makarim. Mengapa sejarah peristiwa itu saya kaji kembali? Tidak lain untuk membandingkan putusan Wakil Ketua Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar dengan para anggota komisioner Chandra Hamzah, Bibit dan kawan kawan.

Bahkan dengan hukuman etik terhadap Lili, pers pendukung Novel Baswedan terus-menerus menggiring berita untuk membubarkan KPK pimpinan Firli Bahuri. Pertanyaannya, apakah saudara Lili Pintauli mempengaruhi kasus Wali Kota Tanjung Balai? Mengapa tidak ada media yang berani memberitakan berita putusan Pengadilan Negeri Bengkulu, yang memerintahkan agar Novel Baswedan segera diadili?. Pengaruh Novel Baswedan meruntuhkan supremasi hukum NKRI memang luar biasa. Untuk membekukan kasus pidana Novel Baswedan saja, sampai diadakan pertemuan antara pimpinan Komisioner KPK saudara Agus Rahardjo dengan Jaksa Agung Prasetyo, Khusus untuk membicarakan kasus pembunuhan Novel Baswedan agar tidak dilanjutkan. Bukankah mereka seharusnya menjadi teladan penegakan hukum? Bukan sebaliknya masuk organisasi pembela algojo bengis?

Kalaupun benar Lili Piintauli hanya ditelepon tersangka Wali Kota Tanjung Balai, lalu bagaimana dengan pemeriksaan etik terhadap Chandra Hamzah, atau perbuatan “markus” saudara Ade Rahardja yang berkali-kali menghubungi Ir. Arie Muladi, untuk memeras Anggodo? Atau bagaimana peranan beberapa anggota KPK mengurus proyek dalam kasus Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat? Mengapa Saut Situmorang, Novel Baswedan dkk tidak ramai-ramai menggiring Ade Rahardjo, Chandra Hamzah ke pengadilan? Termasuk peranan Abraham Samad yang bolak-balik menghubungi petinggi Nasdem dan PDIP,  lobby untuk meloloskan dirinya menjadi wakil presiden? Bukankah menurut Saut Situmorang, sesuai peraturan etik KPK, kasak kusuk Abraham Samad atau tindakan Chandra Hamzah yang mesra berhubungan dengan Nazaruddin, bukan saja termasuk pelanggaran etik tetapi juga terbilang masuk kategori tindak pidana?.

Pokoknya apabila yang terlibat oknum KPK di era Agus Rahardjo, Saut Situmorang, Novel Baswedan, Abdullah Hehamahua, komplotan pencitraan KPK, media, ICW, LSM pendukung termasuk Mata Najwa yang dendam abadi terhadap para warga binaan, mereka diam seribu bahasa. Sejak DPR RI melakukan supervisi terhadap KPK-nya Novel, di saat itu KPK melakukan perlawanan melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan OTT KPK sebelum Firli diberitakan sebagai jasa tunggal tindakan Novel Baswedan, sekali pun para praktisi mengetahui bahwa tindakan penyelidik dan penyidik KPK adalah tindakan kolektif.

Perlawanan memuncak menjelang Firli menjalani fit and proper test, yang meloloskan Firli Bahuri ke kursi Ketua Komisioner KPK. Puncak perlawanan tanpa henti yang dilakukan Novel Baswedan, terjadi di saat pengesahan revisi UU KPK yang baru, sekaligus dilakukannya pelantikan Dewan Pengawas oleh Bapak Presiden Joko Widodo. Disaat itu, kekuasaan Novel baswedan surut, karena semua tindakannya berada dibawah pengawasan Dewan Pengawas. Yang paling menjengkelkan Novel Baswedan, adalah dilakukannya saringan ujian untuk lolos jadi Aparatur Sipil Negara.

Test Wawasan Kebangsaan adalah perintah Undang-undang. Upaya hukum kelompok Novel terkait TWK kandas, berakhir dengan kekalahan Novel Baswedan. Namun, putusan MK yang Erga Omnes, tertinggi diatas putusan-putusan Mahkamah lainnya, masih juga tidak rela dipatuhi baik oleh Ombudsman maupun Komnas HAM. Lalu mau dikemanakan NKRI sebagai Negara Hukum? Komnas HAM bahkan masih berupaya menemui Presiden, untuk mendiskusikan temuan test kebangsaan yang diperiksanya.

Komnas HAM tidak peduli akan pembunuhan warga sipil di Papua yang lagi mengais rejeki, membangun jalan? Atau pelanggaran HAM di Poso yang membantai warga sipil oleh kelompok anarkis? Saya bukan ahli untuk mengorganisir peradilan jalanan atau mengumpulkan para professor untuk pencitraan, seperti yang dilakukan Novel dkk. Dan seterusnya, jangan lagi ada tebang pilih.

Untuk KPK pimpinan Firli Bahuri, Dewan Pengawas, dan untuk Lili Pintauli Siregar, saya berani berkata agar Anda sebagai penegak hukum jangan ragu untuk turut memperjuangkan agar Novel Baswedan si pembunuh keji segera diadili. Masak cuma Novel Baswedan yang bisa melaporkan Anda? Tetaplah berkarya, membuat KPK yang berkeadilan. Abaikan berita-berita hoax Saut Situmorang, kelompok Novel Baswedan yang hendak membawa putusan etik ke ranah pidana.

Seandainya Bareskrim Budi Waseso masih bertugas di sana, saya yakin sudah banyak oknum KPK yang dipenjarakan. Mereka lebih pantas ke Lapas, ketimbang Anda. Jangan peduli gerakan Novel Baswedan yang melaporkan hampir semua petinggi KPK era revisi UU KPK. Tujuan mereka jelas. Menghancurkan KPK sekaligus mengembalikan supremasi kelompok penyidik TALIBAN asuhan Abdullah Hehamahua.

Semoga surat terbuka ini membawa manfaat bagi penegakan hukum yang lebih berkeadilan. Saya membuat surat terbuka ini di saat para rekan praktisi hukum diam, sekalipun mengetahui adanya KPK yang busuk, seperti hasil temuan DPR RI tahun 2018. Termasuk hasil temuan rekan sebagai praktisi ketika membela klien yang dijebloskan KPK. Pengadilan KPK adalah pengadilan sandiwara. Dakwaan identik tuntutan. Fakta di persidangan selalu dikesampingkan.

Salam Keadilan,

Prof. Dr. O. C Kaligis, S.H., M.H.(*)

Pos terkait