Oleh: Pendeta Tuhoni Telaumbanua, Ph.D
Pemberian nama misionaris dokter Martin Thomsen menjadi nama rumah sakit umum di Nias, mengingatkan kita pada sejarah bahwa pembangunan, kebangkitan dan pembebasan Nias justru dimulai oleh zending Rhenische Missions Gesselschaft (RMG).
Pada tahun 1865 – 1940, Zending RMG bekerja tidak hanya dalam bagian Pekabaran Injil, melainkan juga dalam pembangunan pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dalam bidang pendidikan, ada ungkapan dimana ada gereja, di sana ada sekolah. Untuk itu zending RMG membangun pusat pembinaan guru, yakni yang dikenal dengan Seminari Ombölata.
Semua sekolah zending inilah nantinya pada saat Indonesia merdeka diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Kabupaten Nias. Sedangkan dibidang kesehatan, para misionaris sambil memberitakan Injil, juga memberikan obat kepada Ono Niha yang menderita sakit.
Pada bidang kesehatan inipun, zending membangun rumah sakit di setiap station. Sehingga ada rumah sakit di Gunungsitoli, Hilisimaetanö, Sifaoro’asi, Lawelu, dan Sogae’adu. Hingga tahun 1933, rumah sakit tersebut dilayani oleh misionaris dan para isteri misionaris.
Sosok dokter Martin Thomsen
Dokter Martin Thomsen dan isterinya dokter Margarete Thomsen adalah dokter misionaris yang pertama datang ke Nias pada tahun 1934. Siapa mereka?. Mereka adalah suami isteri yang diutus ke Nias oleh badan zending RMG. Martin Thomsen lahir tanggal 2 September 1902 di Rendsburg, Jerman dan meningal dunia pada tanggal 9 Juni 1976. Sedangkan isterinya bernama Margarete Thomsen nee Kühn, lahir tanggal 23 Juni 1902 dan meninggal dunia tanggal 26 April 1987 di Jerman.
Dokter Martin Thomsen dan isteri yang melayani sebagai misionaris di Nias, bekerja pada awalnya di rumah sakit di Sifaoro’asi sambil mempelajari adat dan Bahasa Nias (JBRM, 1934/1935, hal. 72-73). Mereka kemudian ditempatkan di rumah sakit zending Gunungsitoli yang telah dibangun di dekat Barak Militer (kemudian dikenal dengan nama Rumah Sakit Lama).
Selain itu, secara teratur, dokter Thomsen dan isterinya mengunjungi rumah-rumah sakit asuhan RMG di Sifaoro’asi, Hilisimaetanö, Lawelu dan di Sogae’adu. Keduanya juga datang membantu rumah sakit di Tello dan Sigata, dalam kerjasama dengan zending Lutheran yang melayani di Pulau-Pulau Batu.
Sosok Perawat Pertama Ononiha
Perlu diingat, bahwa ada 1 orang perawat pertama Ono Niha, yang membantu dokter Thomsen dan isterinya, yakni Mariza Telaumbanua. Dalam Berichte RMG dicatat bahwa kehadiran Mariza ini sangat mempengaruhi penerimaan orang Nias terhadap zending melalui pelayanan kesehatan. Perkembangan Rumah Sakit Zending di Gunungsitoli cukup pesat sebelum perang dunia kedua. Jumlah pasien di Rumah Sakit Zending yang sejak 11 November 1936 bernama Rumah Sakit Asuhan Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) mempunyai pasien sebanyak 2817 pasien (Berichte RMG 1940, hlm 126).
Ketika terjadi perang dunia kedua, dokter Thomsen dan isterinya bersama seluruh misionaris asal Jerman yang melayani di Nias ditawan oleh tentara Kolonial Belanda dan mereka dibawa ke beberapa Kamp di luar Nias, dan kemudian dikembalikan ke negaranya melalui Sri Lanka.
Pada saat perang tersebut, rumah sakit tidak ditutup karena dokter Van Der Plas, yang sebelumnya bekerja sebagai dokter di kapal, mengambil alih pekerjaan dari dokter Thomsen di rumah sakit Gunungsitoli.
Sayangnya, penanganan dan pelayanan rumah sakit tersebut kurang diurus pada saat pendudukan Jepang tahun 1942. Sehingga ketika merdeka, hanya sekolah-sekolah yang dapat dilanjutkan pengelolaannya oleh Pemerintah Kabupaten Nias, setelah Indonesia merdeka.