Gempita.co – Sebanyak 70 persen responden Indonesia yang berasal dari organisasi termasuk perusahaan mengaku pernah mengalami serangan siber selama 1 tahun ke belakang.
Demikian laporan terbaru yang dirilis oleh perusahaan konektivitas awan, Cloudflare, Kamis (30/11) lalu.
Kebanyakan serangan tersebut terjadi karena serangan web, diikuti oleh phishing dan penyerangan email bisnis, dengan responden memberi peringkat pada penanaman spyware, penyelundupan data, dan keuntungan finansial sebagai sasaran utama penjahat siber.
Tak hanya itu saja, 54 persen perusahaan di Indonesia juga mengalami kerugian setidaknya Rp15 miliar dalam 12 bulan ke belakang karena serangan siber ini.
Kerugian non-material juga dialami oleh perusahaan-perusahaan ini, termasuk kehilangan data/kekayaan intelektual, kerusakan reputasi, dan kehilangan pelanggan sebagai dampak terbesar yang dialami organisasinya di luar kerugian keuangan.
Dampak lainnya, perusahaan dan organisasi lain juga harus menunda rencana perkembangan, pemberhentian operasi serta harus melakukan pelaporan insiden ke pihak berwajib.
Di tengah gempuran serangan siber yang terus berlanjut saat ini, ada hal yang cukup disayangkan. Cloudflare menemukan fakta kalau hanya 53 persen perusahaan yang menyatakan sangat siap untuk mencegah insiden tersebut.
Sisanya mengaku kalau pihak perusahaan/organisasi mereka mengalami kendala soal sumber daya manusia yang masih minim.
Melihat semakin maraknya kebocoran data hingga peretasan sistem di tingkat perusahaan (baik itu skala kecil dan besar), Wakil Presiden Cloudflare di Asia Pasifik, Jepang, dan China Jonathon Dixon mengatakan kalau pelaku bisnis perlu lebih mendedikasikan waktu dan sumber daya untuk merumuskan strategi keamanan siber yang tepat.
“Organisasi harus memandang keamanan siber sebagai hal yang sangat penting dan melakukan investasi yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan yang ada,” ujarnya dalam keterangan yang dikutip dari Uzone.id.
Laporan dari Cloudflare ini berdasarkan survei yang dilakukan pada Juli 2023 terhadap 4 ribu lebih responden dan pemuka keamanan siber dari organisasi/perusahaan bisnis kecil, menengah dan besar.
Para responden ini berasal dari 14 negara Asia Pasifik dan berasal dari berbagai industri seperti bisnis dan profesional, konstruksi dan properti, pendidikan, energi dan masih banyak lagi.