Jakarta, Gempita.co – Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengingatkan masyarakat perlu memahami isi kontrak kesepakatan saat mengambil kredit di pihak leasing (jasa pembiyaan) terutama selama pandemi.
Sebab, masyarakat berpotensi menjadi korban karena tidak memahami klausul-klausul dalam kontraknya.
Ketua BPKN Rizal E. Halim mengatakan, perjanjian pembiayaan jangan sampai ada konflik dengan pihak jasa pembiayaan yang bisa merugikan masyarakat di kemudian hari.
“Ternyata, ketidakpahaman ini menjadi salah satu sebab meningkatnya pengaduan konsumen, data pengaduan terkait jasa pembiayaan ke BPKN yang masuk per Oktober tahun 2020 sebanyak 45 pengaduan. Umumnya hal ini disebabkan oleh kredit macet, penarikan paksa kendaraan, dan lain-lain,” kata Rizal, di Jakarta, Senin (23/11/2020).
Pihaknya menilai perjanjian jual beli melalui leasing seringkali dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menyelipkan klausul baku yang letaknya sulit terlihat atau terlalu kecil. Sehingga hal itu menjadikan kalusul tidak dapat dibaca secara jelas atau yang isinya sulit dimengerti oleh kreditur.
Untuk itu, harus ada standar baku yang tidak merugikan kreditur yang dikeluarkan regulator dalam hal ini OJK agar konsumen tidak menjadi pihak yang lebih dirugikan.
Rizal mengatakan konsumen dilindungi oleh jaminan fidusia yang apabila mengalami kredit macet saat di tengah pembayaran, pihak perusahaan pembiayaan tidak boleh mengambil paksa kendaraan.
“Hal yang perlu dipahami juga oleh kreditur adalah petugas yang melakukan eksekusi benda jaminan fidusia merupakan pegawai perusahaan pembiayaan atau pegawai alih daya perusahaan pembiayaan yang memiliki surat tugas untuk melakukan eksekusi benda jaminan fidusia,” jelasnya.
“Petugas yang melakukan eksekusi benda jaminan fidusia juga harus membawa sertifikat jaminan fidusia, dan konsumen berhak ditawarkan sebagai pihak pertama dalam objek lelang barang,” tambah Rizal.
Ia menerangkan, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak. Namun, hal itu dilakukan sepanjang perjanjian baku tersebut tidak mencantumkan atau memuat klausul sebagaimana yang dilarang dalam Pasal 18 Ayat (1) di dalam UUPK tahun 1999.
Hati-hati
“Konsumen perlu berhati-hati jika ingin mengambil angsuran melalui leasing dan memperhatikan serta paham klausul baku yang tercantum dalam perjanjian standar,” katanya.
“Contoh yang kerapkali ditemukan didalam perjanjian pembiayaan melalui jasa pembiayaan adalah kalimat yang menyatakan memberikan kuasa penuh kepada perusahaan/pelaku usaha untuk dapat menjaminkan kendaraan yang dibeli secara angsuran,” sambung Rizal.
Selain itu, lanjut dia, tidak ada transparansi besaran denda yang disebutkan dalam perjanjian dari jumlah angsuran yang telah jatuh tempo. Bahkan pihak kreditur hanya menyampaikan besaran denda keterlambatan tanpa harus mendiskusikan apakah pihak debitur sanggup dan/atau menyetujui atau tidak besaran denda tersebut.
”Dalam upaya perlindungan konsumen, kreditur jasa pembiayaan perlu dilindungi hukum. Pemerintah perlu mengatur pencantuman klausul baku dalam perjanjian standar agar tidak merugikan konsumen. Apalagi dengan semakin banyaknya masyarakat yang memanfaatkan jasa leasing membuat pemerintah harus turun tangan untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat,” pungkas Rizal.